[25] Enam Belas

12 3 0
                                    

25 | Enam Belas

Kembali menghirup udara khas rumah sakit. Ara berjalan mengarahkan sang pengacara ke kamar Bella. Beberapa kali ia melirik ke belakang, bertanya-tanya apakah ini keputusan yang tepat. Bisa saja orang ini hanya berpura-pura hendak menyampaikan pesan Nenek dan sebenarnya salah satu bawahan Mirza.

Lagian, aneh banget. Kok, dia bisa pas gitu. Datang ke rumah pas gue lagi kebetulan dateng, batinnya.

Sebuah tas berisi barang-barang keperluan sekolah Bella menjadi alasannya pulang. Mendekam di dalam kamar tanpa bisa berbuat banyak membuatnya bosan. Memang, terkadang teman sekelasnya akan datang mengunjungi, namun rasa bosan itu masih ada. Karena itulah, Bella meminta Ara untuk mengambilkan beberapa buku cetak.

"Lo kesambet apa? Mana ada orang yang dikasih waktu istirahat malah pengen belajar," ledek Ara beberapa jam yang lalu.

"Gue." Bella menaruh tangan kanannya di bawah dagu. "Walaupun nilai gue nggak sebagus lo, gue sama rajinnya dengan lo."

"Males banget harus ke rumah,"keluh Ara., "Itu ... buku gue. Pake aja."

Tas sekolah tergeletak di ujung ruangan. Tak di-zip, menunjukkan buku-buku Ara.

"Kita beda jurusan, dodol."

Hal itulah yang membuat Ara secara terpaksa pulang ke rumah, hal yang baru dilakukannya sekali setelah ia diusir dari rumah. Makanya, terlalu aneh kalau disebut kebetulan. Ingin bertanya lebih lanjut tentang kedatangan pengacara itu, tapi dia meminta untuk dibawa menemui Bella terlebih dahulu.

Sret.

Pintu ruangan Bella dibuka, menampilkan Bella yang duduk tegak di tempat tidurnya. Suasana kamar yang gelap menyapa Ara, dengan cahaya dari televisi kamar, menampilkan kanal berita.

"Tumben nyalain TV. Nggak pusing?" tanya Ara.

Bella tersentak, "Tadi bosen. Sekarang udah nggak terlalu pusing lagi. Kepala gue udah sembuh kayaknya."

"Nonton apa?"

"Berita tentang organisasi Mirza dan Tiffany. Papanya Clara diwawancara tadi. Dia kan yang mengetuai kasus ini. Tapi kenapa baru diumumin sekarang, ya?"

"Biar bawahan yang belum ketangkep nggak mencoba kabur? Jadi pas udah dirasa tepat, polisi baru suruh media sebarin." Ara meletakkan tas Bella di dekat ranjang. Mengeluarkan beberapa buku untuk mempermudah si adik kembar mengambilnya.

Bella mengangguk mengerti. Matanya masih tertuju pada layar televisi. Ketika iklan muncul, ia langsung menekan tombol merah pada remote. Barulah matanya menemukan sosok berjas hitam di dekat pintu.

Tertegun akan kehadiran sosok asing itu, Bella hanya bisa menyapa, "Selamat siang. Ehm ... siapa, ya?"

Lelaki itu membungkukkan kepalanya. "Nama saya Budi, notaris yang bertanggung jawab atas pembacaan wasiat dari Nenek kalian. Kalau boleh tahu, anak satu lagi ada di mana, ya? Boleh dipanggilkan?"

"Anak satu lagi?" Mata Ara dan Bella bertemu. Keduanya sama-sama bingung dengan kalimat itu.

"Ah, Gerald." Nama itu tiba-tiba muncul di benak Ara. "Dia sudah meninggal 10 tahun yang lalu."

Terkejut dengan jawaban Ara, lelaki itu memegang tengkuk sekilas. "Kalau orang tua kalian?"

"Mereka juga sudah meninggal."

Hening menyelimuti ruangan itu. "Baik, kalau begitu saya akan menghubungi terlebih dahulu dua orang saksi yang kurang lebih 10 tahun lalu ikut menandatangani wasiat ini."

Notaris itu keluar dari kamar.

Hanya bisa berpandang-pandangan, memiliki kebingungan yang sama. Ara mencoba mengingat-ingat hal penting apa yang ia lupakan.

Tepukan tangan keras Bella menyentaknya. "Hari ini kita ulang tahun, Kak."

"Terus?"

"Gue kan pernah cerita. Tiffany sama Mirza nunggu gue enam belas tahun biar bisa rebut warisan yang ada di wasiat Nenek. Makanya orang tadi一si notaris一dateng nyari," terang Bella.

Ara ber-ah panjang. "Gue lupa tentang itu. Oh, ya. Kenapa harus ulang tahun ke enam belas?"

Kembali mereka berpikir.

"Kak Gerald itu berapa tahun di atas kita?" ujar Bella tiba-tiba.

"Uhm ... setahun?"

"Nah, berarti hari ini dia tujuh belas tahun. Masuk akal nggak, sih? Nenek ngasih wasiat pas udah 'legal.' "

"Berarti Kak Gerald punya tanggal ulang tahun yang sama dengan kita?"

Bella mengangkat bahu, "Kali aja."

Beberapa puluh menit berlalu hingga notaris itu kembali ke dalam kamar rumah sakit diikuti dengan dua orang lainnya. Salah satu di antaranya mengejutkan si kembar.

"Hai," sapa wanita itu. Kacamata hitam khas miliknya tergantung manis di hidung.

"Pertama-tama saya ingin meminta maaf karena perubahan lokasi yang sangat tiba-tiba. Mohon pengertiannya."

Ibu Ervin dan seorang wanita berusia 70-an tahun mengangguk pelan. Mereka mengerti betul alasan perubahan lokasi pembacaan wasiat begitu menyadari kondisi Bella.

"Karena semua sudah berkumpul, kita mulai saja pembacaan wasiat ini." Map dibuka. Notaris itu berdehem kecil sebelum mulai membaca, "Surat wasiat. Pada hari ini, Sabtu, 1 Mei 2010 bertempat di Jakarta Pusat. Saya yang bertanda tangan di bawah ini ...."

Ara dan Bella mendengarkan lamat. Hal-hal yang tertulis sebagai warisan adalah beberapa tanah dan rumah beserta Sertifikat Hak Miliknya. Terdapat pula uang tabungan dalam jumlah besar yang diwariskan.

"Agar melaksanakan wasiat di atas, maka dengan ini saya mengangkat cucu saya Gerald Putra, Ara Kirania, dan Bella Kirania sebagai pelaksana surat wasiat ini."

Mata membulat. Ara menatap Bella bingung.

"Lo dapet juga, Kak," bisik Bella semangat, "Yang Tiffany bilang ke gue, gue diurus karena pengen ambil warisan gue. Sedangkan lo diperlakukan kayak gitu karena 'nggak ada gunanya.' Siapa yang nyangka kalau lo juga dapet," bisik Bella.

"Saya menitipkan surat wasiat ini kepada notaris Budi Abdullah, S.H., notaris yang saya kenal, dan kepadanya saya telah meminta dibuatkan akta penitipan atas surat wasiat ini. Demikianlah surat wasiat ini saya buat, dengan disaksikan oleh saksi-saksi yang saya percaya, yaitu Nisa (teman anak tiri saya) dan Bunga (teman baik saya)."

Map ditutup. Pembacaan surat wasiat sudah mencapai akhir. Tangan mengambil tiga buah amplop berwarna putih dari tasnya. Tertera nama penerima pada bagian luar.

"Titipan dari Nenek kalian. Ditulis menjelang masa-masa terakhirnya. Dia minta untuk diberikan bersamaan dengan surat wasiat ini."

Empat amplop, batin Ara, Gue, Bella, Kak Gerald .... Terus siapa lagi?

🌫🌫🌫

a/n: Part selanjutnya bakal jadi part terakhir. Jangan lupa vote, comment, dan masukin ke reading list!

-16 Oktober 2021-

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang