[8] Di Manakah Mereka?

64 9 44
                                    

8 | Di Manakah Mereka?

Suara erangan keluar dari mulut Ara. Listrik dari stun gun itu begitu mengejutkan tubuhnya. Voltase yang digunakan pengguna tentunya sangatlah tinggi sampai bisa membuatnya pingsan. Ara membuka matanya namun hanya hitam yang bisa terlihat. Ia mengerjap beberapa kali, memastikan ia telah membuka matanya.

Ini gue emang tempatnya gelap atau gue jadi buta? batinnya.

Denyutan sakit muncul pada leher Ara. Ketika hendak memegang lehernya, barulah ia menyadari adanya seutas tali yang terikat kencang pada kedua pergelangan tangannya. Tangannya berada di belakang tubuh.

Ara juga dapat merasakan kedua kakinya yang terikat dan mulutnya yang tertutup lakban.

Ini kayaknya gue lagi duduk di kursi, pikirnya cepat.

Jari-jari Ara berusaha membuka simpul tali. Berulang kali ia mencoba meraih tali di pergelangan tangannya, namun tak kunjung berhasil. Sepertinya tidak memungkinkan jika ia berusaha membuka tali di tangannya terlebih dahulu.

Detik kemudian ia berdiri dari kursi itu dan merebahkan dirinya ke tanah. Bau busuk dari ruangan itu tak membuatnya berpikir dua kali untuk membaringkan diri. Ia meregangkan tangannya, mencoba untuk membuka simpul pada kakinya terlebih dahulu.

Meraba-raba dan membuka simpul dalam kegelapan bukanlah perihal yang mudah. Berulang kali ia mendesah frustrasi karena tak kunjung berhasil. Entah sudah berapa lama waktu berjalan.

Simpul pertama udah kebuka, serunya girang.

Ara berbaring kelelahan dan beristirahat beberapa saat sebelum melanjutkannya.

Kegigihannya akhirnya terbayarkan ketika simpul pada kakinya terjatuh ke tanah. Ara mencoba untuk berdiri dan mencari pintu keluar.

"Erghhh," erang seseorang.

Ara terpaku di tempatnya dan menoleh ke arah sumber suara. Ia berjalan pelan dan mencoba menggapai orang yang baru saja mengerang itu.

Kakinya menyentuh seseorang yang sedang terduduk di kursi.

Orang itu begitu terkejut dan menjerit ketakutan. Detik kemudian ia terdiam dan berkata, "Kha Awa?" Mulut orang itu tampaknya juga tertutup lakban.

"He-eh," jawab Ara. Ia baru saja terpikir kalau Bella-lah orang yang juga terkurung bersamanya, berhubung Bella terdengar seperti sedang dikejar seseorang saat menelponnya.

"Kha, wakba. Uut," ujar Bella kemudian.

Meski tak jelas apa yang Bella katakan, Ara dapat dengan mudah mengerti bahwa Bella hendak membuka lakban di mulut Ara.

Ara berjalan pelan, mencoba mencari letak tangan Bella. Ia meletakkan wajahnya di dekat tangan Bella yang sepertinya juga terikat. Adik kembarnya kemudian meraih ujung lakban itu. Ara memalingkan wajahnya dengan cepat agar lakban itu dapat terlepas dari mulutnya.

"Auuu, sakit," isaknya.

Ia pun melakukan hal yang sama pada Bella.

Sama persis dengan dirinya, Bella juga terisak kesakitan. "Gila, ini lakbannya kuat banget. Rasanya bibir gue juga copot."

"Sampai sekarang masih nyut-nyutan." Ara mengaduh.

"Tali di kaki lo udah copot, Kak?"

"Udah. Omong-omong ini tempat apa? Gelap banget."

"Gue juga nggak tahu. Gue berasa lagi buta."

"Sama, gue juga kepikir gitu," kekeh Ara.

"Tempat ini kayaknya nggak ada jendela, deh. Makanya bisa gelep banget dan lembap. Gila, ini busuk banget."

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang