[16] Sebuah Kesalahan

45 2 8
                                    

16 | Sebuah Kesalahan

Matahari baru saja hendak terbenam. Beberapa lampu jalan sudah mulai dinyalakan. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Telah berlalu beberapa jam sejak Rum bersembunyi. Lorong demi lorong dilalui, asal tak berpapasan dengan orang-orang yang tak ia kenal namun mengejarnya.

Rum mendecak kecil, menyumpahi pasangan suami istri yang menyebar nama dan fotonya, serta menjanjikan hadiah uang. "Dan kebanyakan yang dari pagi berkeliaran, ya, anak buah mereka," gumamnya.

Meski malam itu ia sudah tahu konsekuensi yang menanti setelah kabur dari rumah Mirza dan Tiffany, Rum tetap melarikan diri. Tiffany butuh seseorang untuk disalahkan atas diculiknya Bella. Wanita itu sedang tak berada dalam kondisi terwaras sehingga malam itu bisa saja menjadi malam terakhirnya.

"Tapi kalo gini caranya, gue bakal ketangkep dan dihukum lebih parah lagi." Rum menggaruk belakang telinga, benar-benar gelisah memikirkan nasibnya.

Drrrt ... drrrt ....

Rum menjerit tanpa suara. Mereka denger nggak, ya? Aduh ... harusnya gue ubah jadi silent mode, batin lelaki itu.

Membaca nama penelpon, matanya kemudian membesar. Senyuman terbit di wajah, begitu pula dengan detak jantung yang semakin menggila.

Rum mengangkat telepon dan langsung menaruhnya di telinga. Tak bisa mengatakan 'halo' karena takut ketahuan, ia hanya mendengarkan suara dari seberang sana.

Panggilan berlangsung selama beberapa menit, sampai Rum harus berlari panik menuju sebuah lokasi. Masih dengan ponsel di telinga, serta menghindari orang-orang yang mencarinya, Rum buru-buru mencari cara untuk sampai di rumah Bella secepat mungkin.

🌫🌫🌫

Kembali ke 30 menit sebelum Bella menelepon Rum. Gadis yang tak tahu-menahu tentang penculikan Ara yang kedua hanya mendekam di rumah kosong, mencoba mencari bukti penting yang dapat menjebloskan Mirza dan Tiffany ke penjara.

"Daripada rebahan doang. Bosen lama-lama, kalo cuma main HP."

Gadis itu mengikat rambut dan berusaha memikirkan di mana tempat yang belum dicari dan bisa menjadi tempat persembunyian sempurna. Walaupun belum tentu bukti berbentuk apapun ada di rumah itu, ia tetap ingin berusaha mencarinya sendiri.

"Ara mau serahin kasus ini ke papanya Clara, sih, tapi kalau gue diem aja rasanya agak gimana gitu," gumamnya, "Kalo dapet bukti dan serahin ke polisi ... wah, keren banget rasanya. Kan, nggak semua hal harus dilakukan orang dewasa. Anak seumuran gue juga bisa. Gila, keren banget gue."

Bella berjalan ke ruang bawah tangga, tempat Ara menemukan kunci peti tua. Mengaktifkan senter pada ponsel, ia menyorot lubang yang sebelumnya berisi kunci.

"Kunci yang ditemuin Kak Ara nggak mungkin nyungsep ke sini. Pasti ada yang sengaja masukin. Bintang ini juga nggak mungkin nempel sendiri," tukasnya.

Berusaha mencari di tempat lain, Bella memasuki kamar orangtua palsunya. Mengintip kolong tempat tidur, membuka lemari dan laci, berusaha menekan-nekan dinding yang mungkin menjadi pintu ruangan rahasia.

Beberapa puluh menit berlalu sekejap mata. Tak lupa mengembalikan sesuai keadaan awal, Bella menyerah pada kamar itu. Pasti ada tempat lain, pikirnya.

"Ruang hukuman? Yang sekarang udah diubah jadi gudang?" gumamnya pelan, "Terakhir gue ke sana, kayaknya nggak ada apa-apa, deh."

Sebuah tempat tiba-tiba muncul di otaknya. Ruangan bawah tangga, sebuah ruangan yang selama ini bersembunyi dengan sangat baik dan diketahui baru-baru ini.

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang