[3] Dua Kali Lipat

83 11 92
                                    

3 | Dua Kali Lipat

Tok tok tok

Diketuknya pelan sebuah pintu bertuliskan Ruang Kepala Sekolah. Setelah mendengarkan sahutan dari dalam yang mengizinkannya masuk, Ara membuka pintu dengan perlahan. Tata letak familier terpampang di hadapannya. Empat sofa berwarna hitam mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kaca, meja coklat di dekat jendela yang dipenuhi berkas-berkas, dan lemari berisi penghargaan yang dicapai siswa. Seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun beranjak dari kursinya, dan berjalan ke sofa seraya menggerakkan tangannya, menyuruh Ara untuk duduk di sofa yang berseberangan dengannya.

"Pertama-tama, saya ingin bertanya sekali lagi. Apakah kamu yang mengambil uang milik teman-temanmu?" tanya sang Kepala Sekolah.

"Bukan, Pak. Bukan saya," jawab Ara tegas.

Kepala Sekolah itu mengembuskan napas pelan sambil memegang dahinya. "Hah .... Kalau saja CCTV sekolah tidak rusak, masalah ini akan lebih cepat selesai. Jadi bukan kamu pelakunya?"

"Bukan, Pak."

Bapak Kepala Sekolah terdiam sambil menggetarkan kakinya dengan pelan. Tampak jelas bahwa ia sedang kebingungan. "Jadi begini, Ara. Orangtua murid yang kamu temui minggu lalu meminta pertanggungjawaban dari sang pelaku. Karena semua bukti mengarah pada kamu, jadi dengan terpaksa, kamu harus bertanggung jawab. Saya meminta maaf."

Ara memainkan jarinya seraya berpikir keras. Yah ... anggap aja lagi membayar dosa Mama, batinnya.

"Tidak apa-apa, Pak. Daripada orang-orang kemarin menghentikan uang sumbangan untuk sekolah," senyum Ara dengan terpaksa.

Dengan langkah berat Ara keluar dari ruangan itu. Pertanggungjawaban yang ditanggung padanya bukanlah sesuatu yang bisa ia lakukan. Mengembalikan uang yang "dicuri" sebanyak dua kali lipat bukan masalah yang mudah diselesaikan oleh seorang siswi SMA. Terlebih lagi, kecil kemungkinan orangtua Ara untuk memberikan uang. Selain itu, sekolah tidak tahu-menahu siapa saja yang menjadi korban pencurian. Satu-satunya cara yang dapat dipikirkan adalah menyebarkan angket, menanyakan berapa jumlah uang yang dicuri dari mereka. Hasil dari pengambilan data ini tidak akan sesuai dengan kenyataan. Malah, orang dapat mengaku-ngaku sebagai korban dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa ini.

"Haha," tawa Ara tak percaya dengan nominal yang disebut Kepala Sekolah. "Dua puluh juta? Yang bener aja." Entah bagaimana Ara dapat memberikan kompensasi sebanyak dua kali lipat dari jumlah yang "diambilnya."

"Bisa," gumamnya menyemangati diri, "nanti tinggal minta dari Papa aja. Kemungkinan besar nggak bakal dibantu, tapi masih ada kemungkinan. Paling nggak, Papa nggak pernah mukul."

Ara berjalan ke kelas sambil terus menghibur diri. Ia mengetuk pintu kelasnya dan mendapati guru yang sedang mengajar telah berganti. Ternyata gue lama juga di ruang Kepsek, pikirnya.

"Dia dipanggil karena nyuri, kan? Gue penasaran hukumannya apa."

"Pak Kepsek itu baik banget. Hukuman yang dikasih nggak mungkin susah. Nggak adil makanya."

"Lihat, tuh, mukanya. Nggak ada rasa bersalah sama sekali. Jijik gue."

Raut sedatar mungkin berusaha Ara tampilkan. Dia tidak bersalah, sehingga hati nuraninya tidak mungkin sakit karena gosip yang beredar.

Tok

Guru yang sedang mengajar mengetuk meja, lalu berkata, "Yak, cukup. Masalah orang lain tidak perlu diketahui. Ibu tidak mau dengar ada yang membicarakan hal itu lagi di kelas. Oke?"

Semua murid mengatupkan mulutnya, namun masih menunjukkan tatapan kebencian pada Ara.

"Ah, saya hampir lupa. Ulangan minggu lalu sudah saya koreksi." Tangannya menggapai tumpukan kertas dan membacakan nama di kertas tersebut satu per satu. Murid yang namanya disebut segera berdiri dan maju mengambil hasil ulangannya. Lama menanti, barulah nama Ara disebut.

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang