17 | Semudah Ini?
Samar-samar telinga Ara menangkap suara yang asing. Mata masih berat untuk dibuka, namun diusahakan sekuat tenaga agar tak lagi terpejam. Ara mengaduh kecil, menahan rasa pusing di kepalanya.
Kedua pergelangan tangan lagi-lagi diikat menjadi satu. Hanya saja, kali ini ia tak didudukkan pada sebuah kursi, melainkan hanya dibiarkan tergeletak di lantai, di sudut ruangan.
Ara menatap sekitarnya, menemukan dirinya dalam sebuah ruangan. Bukan tempat waktu itu ternyata. Baguslah kali ini tempatnya nggak lembab dan bau. Hah ... bisa-bisanya gue lupa kalo mereka bisa nyulik lagi. Kok, gue nggak curiga, rutuknya.
Mata kembali menjelajahi ruangan kecil itu. "Nggak ada Bella. Baguslah."
Terdengar suara dari balik pintu yang tak tertutup sempurna. "Memangnya kamu semprot berapa banyak kloroform ke helmnya? Sampai sekarang dia belum bangun, loh. Udah jam 6, ini."
"Tadi saya takut dia kebangun di perjalanan, Bos. Jadi ... gitu."
Langkah kaki kian mendekat. Pintu berderit kecil seraya dibuka.
Mata Ara otomatis tertutup kembali. Berubah ke posisi asal, Ara berharap sang penculik tak melihatnya.
"Nah, kan, dia masih belum sadar." Orang yang disebut sebagai Bos mendecih melihat Ara yang masih 'pingsan.'
"Tapi emangnya dia harus sadar, Bos? Kita bisa langsung telepon Mirza."
"Kita ancam Mirza pakai suara tangis anak kesayangannya."
"Kenapa nggak ancam pakai foto aja?"
"Bangunin aja, sana. Pakai cara apapun."
Panik dalam hati, Ara tak bisa membayangkan bagaimana orang-orang itu akan membangunkannya. Disiram air? Sepertinya sangatlah tak mungkin. Dengan kekerasan?
Ara mengerang kecil, berpura-pura baru terbangun dari pingsannya.
"Udah bangun, Bos."
Lelaki yang disebut sebagai Bos berjalan mendekati Ara, kemudian berjongkok. Tangannya menarik rambut Ara, berusaha menatap wajah gadis itu.
"Haha, ternyata kamu memang anak Mirza. Bisa-bisanya waktu itu kami kira salah sasaran. Untung ponsel kalian diambil." Ia mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celana. "Aku tidak tahu kalau Mirza punya anak kembar."
Beberapa lama untuk mencari sesuatu dari ponsel, ia akhirnya menunjukkan layar ponsel pada Ara.
Foto Bella bersama kedua orangtua pada hari kelulusan SMP. Layar digeser beberapa kali untuk menunjukkan foto berikutnya. Sebuah foto Bella di depan gedung sekolah, foto Bella dengan teman-temannya yang memamerkan logo sekolah.
Di saat seperti ini, gue nggak boleh keliatan lemah. Anggep aja lagi berhadapan dengan Mama ... errh, dengan Tiffany, batin Ara.
"Oh, makanya kalian tahu sekolah saya. Pantesan." Ara duduk dan menyandarkan kepala pada dinding.
Brak.
Pria kurus di belakang 'Bos' meninju dinding yang terbuat dari kayu. Tingkah Ara seolah mencemooh mereka. Suaranya yang keras membuat Ara mengernyit.
"Saya penasaran foto apa yang kalian pakai untuk nyari saya dan kembaran saya. Boleh lihat? Foto yang bikin kalian yakin sekaligus ragu-ragu dengan hasil culikan kalian waktu itu."
"Kamu lagi nggak di posisi untuk sok akrab," sergah si Kurus.
"Saya cuma penasaran. Kata adik kembar saya, foto itu diambil pas dia 7 tahun. Kan, susah kalau harus nebak kayak apa muka anak di foto itu saat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
AraBella [END]
Teen FictionAra dan Bella, kembar identik yang diperlakuan berbeda oleh kedua orangtuanya. Seorang menjadi kambing hitam dalam keluarga, seorang lagi menjadi anak emas. Apa alasannya? Sampai sekarang pun kedua gadis itu masih bertanya-tanya. Cerita ini diikutse...