26 | Kembali ke Sekolah
Siang hari dengan latar berbeda setelah sekian lama. Kursi roda dengan setia mengantarkan Bella memasuki kantor kepolisian resor. Ara berada di belakang, mendorong Bella melalui ramp kursi roda. Sebuah kacamata hitam bersinggah pada batang hidung, menutupi kedua mata dari terik mentari.
Berkali-kali pertanyaan ditanyakan padanya, apakah benar-benar ingin ikut walau keadaan masih kurang baik. Jawaban Bella tetap sama. Dia ingin ikut bertemu dengan Tiffany yang masih ditahan di Penjara Polres. Belum gilirannya untuk menghadiri meja hijau. Sementara itu, Mirza telah terlebih dahulu dijatuhi hukuman seumur hidup.
Seminggu lagi telah berlalu sejak pembacaan wasiat Nenek dilakukan. Keadaan Bella berangsur membaik. Tak muncul lagi mimpi buruk dalam tidur, mata mulai terbiasa dengan cahaya, pusing di kepala tak lagi seserius sebelumnya. Tangan kiri masih dibalut gips, begitu pula dengan kedua kakinya. Operasi telah ia lakukan untuk menyambungkan kembali sendi serta saraf pada lutut.
Seorang polisi mengarahkan kedua gadis itu ke sebuah gedung. Mengisi informasi yang dibutuhkan pada buku besuk kantor polisi, Ara juga menyerahkan barang yang hendak diberikan pada Tiffany. Isi barang yang hendak diberikan diperiksa dengan cermat. Berusaha menghindari segala kemungkinan. Setelah dipastikan tak ada hal mencurigakan, Ara mendorong kursi roda Bella menuju sebuah ruang kunjungan.
"Kalian punya waktu lima belas menit setelah tahanan tiba," ucap polisi itu.
Ruangan kecil dengan pemisah antar ruangan berupa tembok dan kaca yang saling berhadapan. Sebuah celah pada kaca memungkinkan mereka menyerahkan barang yang telah diperiksa. Beberapa lubang pada kaca mengizinkan percakapan dapat berlangsung.
Tiffany muncul dari balik pintu. Sipir melepas borgol pada kedua pergelangan tangan wanita itu. Terlihat begitu pucat tanpa make-up yang tak pernah jauh dari jangkauan. Mata penuh benci menusuk si Kembar.
"Mau apa kalian?" katanya sinis. Tangan dilipat di depan dada. "Senang?"
Sebuah amplop putih disodorkan melalui celah pada kaca.
"Ini apa?" Ia menyengir sambil mengibaskan surat itu pada wajah.
"Tante boleh buka amplop itu."
Merasa aneh dengan panggilan itu. Tiffany mengerutkan kening. "Oh, iya. Saya memang tante kalian. Walaupun sampai sekarang saya masih nggak menganggap Lauren sebagai saudara." Ia menjimpit kertas dari dalam amplop yang telah disobek. Hasil pengecekan polisi sebelumnya.
Tak sampai semenit, ekspresi Tiffany melunak. Mata berkaca-kaca. Tangan menangkup mulut agar tak mengeluarkan suara. Hidung kembang-kempis berusaha menahan emosi yang tiba-tiba melandanya.
Ara dan Bella tersenyum tipis menatap wanita itu menahan tangis. Rasa sesak yang selama ini dirasakan. Keinginan balas dendam telah sirna.
Ketika mata mereka kembali bertemu, tak ada lagi setitik rasa benci yang tampak. Semua berkat amplop putih itu. Titipan Nenek yang baru diberikan seminggu lalu.
Tangisnya pecah. Tak lagi bisa tertahankan. "Kenapa baru sekarang?!" isaknya.
Kedua gadis itu tahu kalimat yang baru diteriakkan Tiffany bukan tertuju pada mereka, melainkan pada sang ibu. Orang yang begitu Tiffany sayangi namun mengakibatkan sakit hati yang besar sejak remaja.
Sebuah pertanyaan menyelinap ke dalam otak Ara. Mengapa surat itu tak langsung diserahkan ketika Nenek meninggal? Apakah karena Tiffany tak menghadiri pemakaman? Atau kesalahan dari pihak notaris?
"Tante ..." ujarnya parau, "minta maaf. Ha-harusnya Tante lebih mengerti keadaan keluarga Tante dulu. Kenapa harus bertindak impulsif seperti itu?! Lauren nggak pernah salah apa-apa. Dia orang baik yang selalu berusaha mendamaikan Tante sama Mama. Harusnya Tante nggak ikut menghadiri pemakaman Gerald. Harusnya waktu itu Tante nggak merusak rem mobil kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
AraBella [END]
Teen FictionAra dan Bella, kembar identik yang diperlakuan berbeda oleh kedua orangtuanya. Seorang menjadi kambing hitam dalam keluarga, seorang lagi menjadi anak emas. Apa alasannya? Sampai sekarang pun kedua gadis itu masih bertanya-tanya. Cerita ini diikutse...