[15] Lagi-lagi

45 4 14
                                    

15 | Lagi-lagi

"Makasih tumpangannya," ucap Ara ketika rumah Clara telah persis di depan mata. Mobil hitam milik keluarga Ervin memutar arah untuk keluar dari komplek kecil itu. Ara menatap kepergiannya sambil melambaikan tangan.

Gerbang rumah tak dikunci, menandakan Clara telah pulang. Namun pintu utama tetap tak bisa terbuka. Belum membeli ponsel baru, Ara tak bisa menghubungi Clara. Untungnya, Clara sempat memberitahu letak kunci cadangan.

Ara menghampiri beberapa tanaman di kebun kecil Clara. Tersembunyi oleh dedaunan, ada sebuah pot diletakkan terbalik, yang berisi kunci cadangan. Menyingkirkan tanah dari benda tersebut, Ara kemudian menancapkannya ke lubang kunci.

Begitu daun pintu dapat diputar, Ara mengembalikan kunci cadangan pada tempatnya.

Saking kecilnya rumah itu, suara kunci dapat didengar sampai ke dapur. "Eh, lo udah pulang. Padahal telepon aja biar gue yang bukain pintu."

"HP gue kan dicuri," jawab Ara, menaruh tas sekolah ke dekat tangga. Ia berjalan menghampiri Clara yang sedang memasak.

"Oh, iya."

"Ada yang mau gue bantu, nggak?"

"Nggak ada, sih. Tinggal ngegoreng ini." Clara menunjuk wajan yang sedang menggoreng ayam. "Sana, mandi aja. Tamu nggak usah ikut-ikut kerjain tugas rumah."

Ara menekuk wajahnya, berpura-pura sedih atas usiran tersebut. Tangan meraih tas yang tergeletak di deket tangga. Dengan langkah berat ia menaikinya.

Kembali ia memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Tambah lagi sebuah bukti bahwa Mirza dan Tiffany bukanlah orangtua asli Ara. Begitu banyak pertanyaan tentang keberadaan orangtua asli dan alasan 'hilangnya' mereka. Kalimat yang sempat disebut mama Ervin terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Mamanya Ervin ngerasa familier dengan muka Mirza dan Tiffany. Dan sebelum mereka pindah. Kalo kata Ervin, sih, mereka pindah 10 tahun yang lalu. Berarti waktu itu Mama dan Papa masih ada, sekaligus Mirza dan Tiffany, batin Ara.

Detik kemudian ia mengerang, "Kenapa ribet banget, sih. Kalo aja gue di keluarga yang normal, kan, nggak usah pusing kayak gini."

Lepas membersihkan diri dari keringat dan debu sepanjang hari, Ara menuruni tangga, memegang perutnya yang keroncongan.

Ayah Clara sudah duduk di meja makan, masih dengan seragam lengkap.

"Malem, Om."

Pria itu mengangguk.

"Ayo, makan." Clara meletakkan lauk yang dimasaknya. "Btw, tentang ngelaporin orangtua palsu lo ... jadi, kan? Tadi pagi kan Bella udah setuju. Dan orang satu lagi ... dianggep setuju?"

Ara mengangguk.

"Emangnya orang itu siapa, Ra? Korban KDRT juga? Oh, pembantu, ya?" tebak Clara.

Gelengan cepat dilakukan Ara. "Sebenarnya KDRT ke gue itu nggak seberapa. Bantuan yang gue dan Bella pengin adalah untuk ngumbar semua kejahatan yang orangtua gue lakuin."

"Emang mereka ngapain aja?"

Mulailah Ara menceritakan pekerjaan yang dilakukan orangtuanya. Mulai dari pencurian, perampokan, dan hal-hal yang diketahui Ara sejak bertahun-tahun lalu, hingga ke penjualan organ yang baru diketahuinya dari Rum. Diceritakannya pula kisah Rum yang menjerumuskan dirinya dalam dunia itu demi membalas dendam.

"Sebentar. Kayaknya Om familier dengan cerita barusan," potong ayah Clara, merujuk pada kisah terbunuhnya kakak Rum. "Kayaknya itu kasus yang dulu pernah Om tangani. Tadi kamu sempat ngomongin tentang kantor? Bangunan itu dulu pernah kami cari tapi tidak ketemu. Entah bagaimana, semua tersangka yang kami tangkap tidak buka mulut.

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang