Chapter 1 - Bersiap! [Part-1]

65 6 2
                                    

"Aku ingin menjadi Admiral!”

Wanita muda berambut hitam lurus sepunggung menghentakkan kepalan memukul meja. Tiga orang sigap mengangkat nampan makan metalik sebelum sepasang genggaman tanpa balutan sarung tangan sempat mendarat. Menyisakan tatakan milik wanita itu seorang melompat satu dua mili.

“Setiap orang saya rasa mau menjadi Admiral, kapten,” embus laki-laki usia lima-enam puluhan berambut, kumis, dan janggut pendek putih ubanan meletakkan kembali baki menuju permukaan kelabu.

“Kau tidak tahu apa-apa, nak. Jangan mengguruiku, letnan,” balas kapten Lumine memiringkan bibir, menyempitkan celah bukaan mata. “Ini pribadi,” lirihnya.

“Baik, kapten.”

Letnan Roagal Sartovari, selaku penanggungjawab SenPer (Senjata dan Pertahanan) mengunci bibir, tertunduk melanjutkan makan. Tiga alasan membuatnya bungkam. Pertama, memang usianya jauh lebih muda dari kapten. Kedua, mau bagaimana lagi? Wanita penggerutu di hadapannya adalah sang pimpinan. Ketiga, sebaiknya jangan melucu, karena mood kapten pasti sedang buruk akibat perlakuan tidak adil pagi ini.

“Balas dendam itu tidak baik, kapten Lumi,” ujar wanita berambut pirang pucat bergaya low braid bun tersenyum. Seperempat wajahnya berhias peranti cybernetic. Diafragma mata mekanik sebelah kiri ikut mengerut. Bersamaan jemari tangan kirinya yang juga merupakan modul prostetik warna hitam menggapai garpu mengilap.

“Cih, apa kau sudah menghilangkan perasaanmu, Fristi? Seperti manusia peralihan lain?”

“Tidak. Saya memang mau menjadi cyborg sepenuhnya. Karena ketahuilah, manusia itu sesungguhnya lemah.” Wanita berjaket trenchcoat abu-abu menyilangkan tangan depan badan, terpejam menyombong.

Tiga orang rekan manusianya mengamati sambil memasang muka datar.

“Tapi, bukan mesin tanpa hati, seperti kombat android.” Petugas NavKom (Navigasi dan Komunikasi) Fristi tertawa kecil, mengusap belakang kepala, menggeleng malu.

“Bagus. Maka sedih dan menangislah. Ikut aku mengutuk atasan kampret di sana!” Kapten Lumine menegadahkan tangan. ”Oh, demi embusan sepoi Kivyel! Sapu saja pelabuhannya!” Dia mengayun-ayunkan sendok naik-turun ke arah jendela pantau kedai.

Pemandangan menampilkan tubuh celestial yang tak lain adalah sang Kivyel. Garis tipis kelabu melingkari sosok raksasa gas berwarna cokelat putih layaknya busa kopi itu. Walau seklias mata nampak tidak signifikan, percayalah, struktur seperti garis tipis tersebut adalah megastruktur stasiun militer di ujung sektor solar ini. Terbentang sepanjang puluhan ribu kilometer. Tempat melabuhkan ratusan armada dan grup tempur kapal-kapal perang antariksa milik aliansi.

Pagi tadi, para kru kapten Lumine dianjurkan agar sarapan di lokasi berbeda oleh petugas markas karena mereka hendak menyisikan ruangan demi menyambut salah satu petinggi armada aliansi, sang Admiral Natascha Inklire bersama pasukan. Kapten dan banyak pimpinan kelas bawah lain terpaksa mengungsi kemari. Platform kedai otomatis yang masih dalam tahap pembangunan pada salah satu satelit alami Kivyel. Kasarnya, diusir.

“Untung saja waktu anda memukulnya, kami sudah siap. Apa anda tidak sadar? Mejanya saja bahkan belum selesai dibaut,” kata lelaki plontos berkulit gelap mengamati sebuah unit drone mengambang tepat di pusat meja mereka, memasukkan empat pin dan memutar semuanya sekaligus, lantas berdengung beranjak pergi. “Tapi, tidak masalah bukan? Bahkan saya bisa bilang makanan ini lumayan enak.”

“Ya. Tapi yang aku permasalahkan adalah, makan di bangsal itu gratis!” Kapten Lumine menggeram, melekuk ujung-ujung jari.

Roagal, Fristi, dan Makro si petugas MesPer (Mesin dan Perlengkapan) tertawa. Semuanya sadar bahwa, kapten benar. Sudah gaji mereka tak sebanding dengan para petinggi itu. Lantas kenapa harus bayar dari kantong sendiri?

Tidak lama, mereka berempat melanjutkan makan.

Kapten memutar-mutar sendok, hanya terpaku mengaduk-aduk makanan, nampak tidak berselera. Dalam hati terus menyumpahi agar sang Kivyel –salah satu dari tiga raksasa gas di tata surya ini– mencerai-beraikan struktur markas. Walaupun ungkapan umpatan adalah embusan sepoi, nyatanya, tetap saja mata badai abadi tersebut ribuan kali lebih kuat dari apapun yang pernah terjadi sepanjang sejarah sentral, selaku kawasan koloni pertama.

Pesan darurat masuk ke peranti komunikasi personel.

Lumine tersenyum. “Menuju kapal! Saatnya beraksi,” seru kapten berdiri mendorong kursi, sambil mengacungkan tangan.

Situasi bangsal konsumsi langsung ricuh, puluhan membelalak. Orang-orang yang kebanyakan merupakan anggota kapal kapten, segera mengebut kunyahan, mencecerkan air minum, satu dua tersedak. Sebagian, termasuk Roagal, Fristi, dan Makro ikut mengambil lempengan kertas dari bawah meja, melipatnya, membungkus menu ke dalam kotak makan jinjing.

***

LumineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang