Chapter 2 - Pertempuran Antariksa [Part-3]

8 3 2
                                    

“Kau gemetaran, Letnan. Sehat-sehat, Nak?” Kapten Lumine menoleh.

“Saya baik-baik saja, Kapten.” Letnan Roagal mengangkat pipi menekuk barisan kumis beruban, melonggarkan kepalan, melupakan sejenak dendamnya atas kekaisaran. Dirinya sudah biasa dipanggil demikian. Lebih baik menurutnya, ketimbang jargon ‘kakek-kakek tampan’ yang biasa dipakai oleh orang-orang semenjak awal beliau memutuskan meninggalkan kediamannya dahulu, dan bergabung dengan aliansi.

“Hey, sudah. Berhenti mempermainkannya, Kapten” komentar Makro.

Kini Fristi mengangkat pandangan, menoleh kepada Letnan Roagal yang menutup mata, memajukan dagu sembari mengangkat bahu. Wanita itu mulai bisa tersenyum kembali, balik melakukan tugas.

“Ini kapten berbicara. Sudahlah, jangan terlalu tegang. Aku tahu ini bukan pertempuran perdana kalian. Kita sudah sebanding veteran aliansi. Lakukan seperti biasa. Mirip ketika kita merebut Kivyel.” kata Kapten Lumine lewat pengeras suara lokal Nova. “Jangan lupa. Acara makan-makan nanti.”

“Aye!” jawab hampir semua personel bersemangat. Tapi, beberapa tetap tidak setuju, cemberut, kalau sampai sungguh memodali sendiri traktiran itu.

Nova bersama satuan-satuan tugas dan ratusan kapal aliansi masih melaju. Sela antara kapal satu dengan yang lainnya berkisar sepuluh ribuan kilometer. Untuk ukuran angkasa, jarak tersebut masih masuk kategori sangat dekat. Armada bergerak sejauh mungkin dari Kivyel, namun juga tidak sampai keluar dari radius dukungan tembak sistem pertahanan markas, tentunya.

“Waktu merebut Kivyel, kita hanya memeriahkan saja. Para admiral pemimpin penyerbuanlah yang mengambil panggung bersama kapal-kapal besar mereka,” pungkas Makro.

“Omong kosong tentang admiral.”

“Jangan terlalu menjujung tinggi.”

“Mereka itu cuma sekumpulan selebriti. Tidak lebih.”

“Lalu kemana mereka sekarang? Bersantai di pantai?”

Komentar para kru, petugas senjata, dan lain-lain.

“Ya. Jangan lupakan, kita yang ditempatkan paling depan waktu itu,” ucap kapten datar. “Juga atas nama seorang Admiral Natascha Inklire, banyak kapten dan kru kapal harus bangun lebih pagi, bersiap lebih dini, serta bayar makanan dari kantong sendiri.”

Keempat petinggi, juga para kru balik ceria selepas menyaksikan pemandangan mengenaskan armada blokade. Saling lempar balas dan dengar guyonan seputar orang narsistik yang ditujukan terhadap sosok-sosok petinggi armada aliansi. Mereka tertawa singkat bersama.

Tidak lama, tawa kembali hening, wanita berambut hitam lurus sepunggung menggerakkan interface lensa retinanya memakai lirikan. Mematikan komunikasi agar tidak lanjut didengar oleh para awak. Ada hal mengganjal, tentu selain kelitikan di perutnya. Sesuatu yang teramat sangat serius.

“Kalian melihat Alkontion?” tanya kapten Lumi.

Makro menceletuk, “Maksud anda kapal bendera milik admiral Natascha?”

Kapten meyeka rambut panjangnya. “Memangnya apalagi?”

“Tidak. Saya tidak lihat.” Letnan Roagal toleh kanan-kiri depan-belakang, menyimak pintasan-pintasan cahaya mesin yang terus melesatkan rombongan kapal menuju titik hadang. 

“Fristi?” Kapten menggenggam pembatas, menoleh ke level bawah kiri.

Diafragma mata manusia dan cybernetic milik Fristi mengerut bersama dahinya. Wanita berambut pirang itu menggeleng. “Perintah tertinggi saat ini berada di tangan komodor. Beliau mengomandoi armada dari kapal penjelajah berat Urzibeth”

LumineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang