Chapter 4 - Cuti Sejenak [Part-1]

2 1 3
                                    

Pidato berakhir tanpa tepuk tangan. Admiral Natascha Inklire beranjak turun podium. Ia membenarkan baret putih balik kanan, menghormat menghadap jendela pantau raksasa yang menampilkan permukaan Kivyel. Ribuan personel mengenakan seragam standar aliansi di dalam ruangan besar berdinding kelabu mengikuti.

Upacara selesai. Sang Admiral meninggalkan tempat. Para personel mulai bubar. Tidak sedikit masih enggan beranjak. Beberapa isak tangis pecah bersama tetes-tetes air mata jatuh membasahi permukaan lantai metal warna kelabu. Ekspresi-ekspresi keras, dingin nan bisu ikut melengkapi kesuraman markas yang masih rusak berat pada beberapa bagian.

“Kalau saja kalian tidak mengandalkan hantu!” teriak seorang personel infanteri melayangkan bogem mentah. Salah satu pilot Nova terpukul.

“Mundur!” 

“Tenangkan diri kalian!”

“Tahan mereka!”

Kerumunan kru kapten Lumine mencoba menenangkan.

“Kau tidak bisa menyalahkan Novi. Dia sudah mencegah mereka masuk ke sana. Namun, kepala regu infanteri mengabaikan peringatan. Dia dan timnya bertindak tergesa-gesa, menimpa protokol. Novi tidak bisa membantah atau melawan wewenang demikian! Kau bisa melihat log catatan komunikasinya.” Fristi mengacungkan tangan ke dada pria itu, mencoba menahannya.

Makro menyela barisan. “Aku tahu mereka hanya menjalankan tugas. Aku sungguh berterima kasih karena mereka berusaha memastikan keselamatan kru Nova, khususnya keselamatan aku dan petugas bagian mesin waktu itu. Tapi tenangkan diri kalian! Aku juga kehilangan tiga petugas di sana!”

Para kru tank terdiam. Satu dua tertunduk menyilangkan tangan. Merasa beruntung. Fasilitas K-23 adalah salah satu yang menerima kerusakan paling parah. Akibat kapten bersikeras agar kru tank ikut, secara tidak langsung tindakan tersebut menyelamatkan mereka.

Kapten Lumine bangkit dari memeluk dengkul. “Benar. Itu bukan kesalahan Novi ataupun siapa-siapa, melainkan tanggung jawabku,” ucapnya pelan.

Personel infanteri memalingkan tatapan kepada Kapten. Seketika ia mendorong Fristi, mengepalkan tangan, berlari menembus barisan. Refleks Makro kurang cepat, tidak sempat menangkapnya. Beberapa kru lain juga kalah tenaga walau personel itu tidak sedang mengenakan seragam kombat. Cuma Letnan yang berada di baris paling belakang sigap membanting, menjatuhkan orang itu ke lantai metal dan menindih tubuhnya memakai dengkul. Letnan Roagal hampir saja merogoh sabuk senjata dan meloloskan pistol. 

“Tidak. Itu tanggung jawab saya. Saya yang memerintahkan mereka pergi,” kata Letnan Roagal sembari menahan lengan pria di lantai.

Kapten menggeleng, tidak beranjak dari tempatnya berpijak yang hanya terpisah beberapa langkah. “Aku bilang kita semua pergi bersama dan pulang bersama. Aku tidak bisa menepati janji.”

“Dia,... dia sudah ku anggap layaknya adikku sendiri. Kami sudah menjadi rekan seperjuangan sejak pertama bergabung dengan kesatuan. Kami senasib”

“Maaf,” ucap Kapten Lumine pelan sambil terpejam, lalu menoleh ke sekitar. “Tapi, bukan hanya kau. Lihatlah, kita semua. Puluhan ribu personel armada yang gugur hari ini. Orang-orang Eka Surya Mandala terdahulu, dan... lebih lagi.”

Setelah Letnan Roagal menyadari napas sedu pria di lantai yang mengendurkan perlawanan, ia melepaskan kuncian.

Prajurit infanteri itu kembali berdiri, mengamati sekeliling untuk sejenak, matanya berkaca-kaca.

Suasana berkabung masih terasa. Sebagian kerumunan personel angkatan antariksa alansi hanya menyimak bisu pertengkaran awak Nova dengan tatapan luka. Beberapa personel terduduk dekat peti jenazah rekan mereka. Orang-orang yang pagi tadi masih tertawa dan saling menyindir, kini terbujur bisu, tak dapat menyambung lelucon sebelumnya.

LumineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang