Chapter 4 - Cuti Sejenak [Part-4]

7 1 2
                                    

Kapten Lumine dan Fristi masing-masing membawa sebuah kotak kardus.

Pintu gerbong kereta terbuka. Penumpang berjejal di dalam. Tidak ada tanda-tanda orang mau turun. Ruang kosong hanya berupa tempat berdiri untuk satu dua orang dekat pintu.

"Perhatian!"

Perkataan tegas seseorang membuat Kapten dan Fristi berhenti. Keduanya menoleh.

Tiga lelaki berseragam standar angkatan antariksa aliansi mendekat. Pria di tengah adalah seorang kapten kalau melihat ornamen pangkatnya. Kapten kapal fregat.

"Selamat pagi," ucap si Kapten bersama sepasang anak buahnya menghormat singkat sembari menyerobot satu-satunya tempat tersisa.

"Selamat pagi, Pak." Balas Kapten dan Fristi kompak.

Kapten Lumine dan Fristi sigap meneggakkan postur badan ketika pandangan mereka bersambung dengan ketiga personel. Pasrah. Bagaimanapun, sebagai subordinat, keduanya mesti mengalah.

Pintu gerbong kembali menutup. Kereta bergerak menyusuri rel. Meninggalkan Kapten dan Fristi.

"Kau pikir mereka bisa mendengar kita sekarang?" tanya Kapten meletakkan kotak kardus ke lantai peron.

"Tidak mungkin, Kapten Lumi. Bahkan kalau mereka punya pendengaran super." Fristi tersenyum mengamati ekor kereta yang sudah tidak terlihat dalam relung pandang.

Kapten mendengkus. "Padahal pangkat kita tidak beda jauh. Bayangkan kalau orang-orang seperti mereka sampai jadi admiral armada. Mungkin seluruh penumpang di sepanjang gerbong akan disuruh keluar."

"Kita tidak tahu, Kapten. Mungkin mereka ada urusan penting."

"Misalnya?"

"Mules, barangkali? Raut muka ketiganya tadi mengatakan demikian."

Kapten tersenyum. "Ya, pemikiran bagus, Fristi."

"Anda tidak ikut sakit perut, kan?"

"Tidak."

"Kalau begitu, kita tunggu saja kereta selanjutnya."

"Ayuandaye etta ettu," ucap Kapten.

Fristi paham, tidak berkomentar mendengar ungkapan jadul Kapten Lumi.

Lima menit berlalu. Kapten dan Fristi telah berada di dalam kereta cepat. Kali ini mereka kebagian tempat duduk. Tak berdesakan karena gerbong lumayan kosong.

"Kesabaran membuahkan hasil. Rasakan mereka betiga tadi mesti berdiri entah sampai berapa stasiun pemberhentian." Kapten menyandarkan pulas punggung dan kepalanya.

Melihat pencahayaan artifisial kini menerangi seisi gerbong setelah kereta melewati terowongan dan barisan gedung, Fristi lantas membuka penutup kotak di pangkuannya.

Kapten Lumine mengikuti. "Aku masih tidak percaya orang-orang membayar untuk ini?"

"Tentu, Kapten. Kenapa anda pikir saya menjadi seorang pembudidaya berserftifikat?"

"Aku pikir kau hanya butuh uang lebih untuk memperbarui perangkat." Kapten melirik Fristi.

"Ah. Iya, itu salah satunya."

"Tetap saja menurutku ini adalah sebuah penipuan." Kapten terus memasang muka datarnya. "Kalau aku, lebih baik beli imitasi. Siapa juga yang akan sadar?"

"Artinya, anda termasuk golongan manusia lemah yang tidak bisa melihat dan menghargai keindahannya."

Kapten Lumine menaikkan sebelah pipi. "Kata seseorang yang tangannya bisa dibongkar pasang."

LumineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang