Lumine menguap. Embusan hangat beserta aroma harum berhenti meniup tubuhnya. Selesai mandi angin ultrasonik, dia berkumur menggunakan larutan pembersih mulut. Ia mengenakan kembali seragam standar aliansi, lalu meninggalkan bilik mandi.
Fristi juga masih memakai trenchcoat miliknya yang entah sudah berapa bulan tidak dicuci. Memang tidak perlu sebab seragam standar aliansi menerapkan teknologi bersih sendiri. Siapa pula mau repot mencuci pakaian di luar angkasa?
“Pagi, Kapten Lumi,” sapa Fristi dari bangku. Dia sibuk mengamati berita.
Mata manusia Fristi fokus menyimak sepatak layar, sedangkan mata prostetiknya jelalatan menonton tidak hanya satu, tetapi beberapa tayangan hologram pada permukaan meja putih atau yang bersinar mengambang di udara dekat wajahnya dengan kecepatan cukup tinggi.
“Pagi, Fristi. Sudah minum obat?” tanya Kapten lalu ikut mengambil duduk, mengamati meja makan.
“Sudah.” Fristi mengangguk sekali.
Pada meja menanti dua mangkuk porselen bubur gandum hitam lengkap bersama piring beling berisi kuah susu kedelai manis.
Selagi sarapan sekaligus menonton berita, Fristi menyempatkan diri untuk memperbaiki lengan prostetik miliknya. Perkakas tukang, peranti pengecek program taktis, baut-baut, suku cadang, komponen sendi, serta botol minyak pelumas berserakan. Menambah sesak pelataran meja makan kecil mereka.
Kapten menyelupkan sendok berisi bubur gandum ke piring susu.
Fristi menghentikan kunyahan, bertanya pelan. “Kapten Lumi, bagaimana dengan-“
Kapten langsung memotong pembicaraan. “Pesan dari kedai konsumsi mana?”
“Tidak. Saya masak sendiri.”
“Masak sendiri?” Kapten menyipitkan mata.
“Secara teknis, memanaskannya saja.”
“Tentu saja. Organik?”
“Kalengan. Saya menggunakan stok simpanan darurat kita yang hampir kedaluwarsa.”
“Ya, lebih baik dari tidak ada. Terima kasih sudah menyiapkan sarapan.” Kapten Lumine tersenyum, kemudian melirik telapak tangan prostetik warna kelabu yang tergeletak.
Kapten Lumine mengangkat potongan telapak tangan prostetik Fristi, membolak-balik, menatapnya saksama di tengah guyuran pencahayaan artifisial stasiun pelabuhan berwarna putih keemasan yang menembus jendela kaca ruangan.
“Sama-sama.” Fristi melanjutkan mengutak atik perangkat. Dia mengetahui betul kalau Kapten Lumi orangnya pemalas. Keburu aliansi dan kekaisaran menandatangai pakta perdamaian kalau menyuruh wanita berambut hitam di hadapannya agar mau bangun lebih pagi demi menyiapkan sarapan sendiri.
“Jadi, ada kabar apa di seantero surya mandala pada pagi yang indah ini?” Kapten tersenyum menatap Fisti.
Fristi mengembus. “Seperti biasa,” katanya mengayunkan bahu dan pergelangan tangan manusianya naik-turun. “Orang Dwi Surya membenci orang Tri Surya padahal mereka sama-sama pihak kekaisaran. Orang Catur Surya membenci orang Panca Surya padahal kita sama-sama pihak aliansi. Orang Sad Surya membenci orang Sapta Surya begitu juga sebaliknya karena mereka sama-sama sebagian berada di pihak kekaisaran dan aliansi. Orang Eka Surya masih terus membenci seluruh umat manusia. Dan orang Asta Surya tetap menjadi orang paling pemaaf.”
Kapten Lumine meletakkan kembali telapak prostetik yang ruas-ruas jarinya menggeliat sendiri seakan bergerak-gerak mengikuti gestur tangan manusia milik Fristi tadi. Ia tersenyum. Mengetahui wanita berambut pirang itu baru saja mengatakan sebuah lelucon populer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumine
De TodoMengisahkan Alistia Lumine. Anggota militer kasta bawah yang selalu dipandang sebelah mata. Salah satu dari sekian banyak anak-anak terlantar korban tragedi masa lampau. Sekarang, menjabat sebagai kapten korvet aliansi. Lumine selalu bermimpi menjad...