Chapter 1- Bersiap! [Part-2]

26 5 0
                                    

“Novi, bawa kapal ke dock yang ku tandai.”

Kapten Lumine dan tiga petinggi kapal memasuki lift.

Tidak ada balasan ucapan. Hanya tulisan pada lensa retina kapten saat ini. Tulisan terpampang, positif.

Novi bukan personel manusia. Dia adalah unit inteligensi buatan (AI). Bertugas sebagai bagian pengendali dan modul pembantu. Sampai hari ini, orang-orang yang alergi, atau memiliki sejarah kurang mengenakkan berhubungan dengan AI masih menyebut unit seperti Novi memakai ejekan hantu kapal.

“Ada apa lagi, Novi?” tanya kapten.

Sebuah link tautan dari markas dekat Kivyel, petak briefing taktis menampilkan salah satu pimpinan.

“Pesan diperuntukan kepada semua personel militer di sektor ini! Angkatan antariksa kekaisaran berhasil menembus blokade dan sedang menuju kemari!”

Layar menampilkan barisan ratusan kapal berkelir hitam dengan lis-lis merah melintasi padang sabuk meteor. Satu dua merupakan kelas penjelajah tempur (Battlecruiser) sepanjang kurang lebih delapan kilometer, membuat kapten Lumine menegak ludah. Namun, jelas bukan lawan sepadan bagi mereka. Dia lebih fokus mengamati beberapa potongan rekaman lain yang diambil oleh drone-drone pengintai. Wanita itu lebih antusias mengamati jumlah kapal-kapal fregat dan korvet pengawal.

Hanya beberapa detik, pandangan taktis terputus. Atau, lebih tepatnya berhasil ditemukan dan dieliminasi oleh armada kekaisaran. Rapat singkat berakhir.

“Perkiraan waktu tiba, dua jam standar tata surya. Semua personel menuju stasiun masing-masing!”

Pipi kapten berkedut mendengar decap kunyahan. “Bisakah kalian tenang sedikit? Wahai kru ku yang lemah.” Wanita itu menengok sejenak.

Tiga bawahannya sejenak terangah, saling lirik dengan posisi tangan hendak menyendok menu dari kotak jinjing masing-masing.

“Kenapa kekaisaran menyerang sekarang? Sangat aneh, bukan?” tanya kapten Lumine. “Mengingat aliansi baru berhasil merebut Kivyel enam bulan lalu, aku kira mereka akan tiba lebih cepat.”

“Mungkin itulah alasan sebenarnya Admiral Natascha kemari,” cetus Makro sambil terus mengunyah, menegak. “Mata-mata kita hebat juga, ya?”

“Aku tidak yakin. Mungkin mata-mata kekaisaranlah yang hebat,” ucap Fristi menggeleng. “Apa mereka menyerang sebab mengetahui ada petinggi aliansi di sini?” Dia kembali menyendok ke mulut.

“Uhuk. Apapun itu, tetap saja pasukan musuh lumayan besar,” kata letnan Roagal. “Apa yang akan kita lakukan, kapten?”

“Hal biasa. Biarkan bos beradu, sementara kita urus keroco-keroconya.” Kapten Lumine berbalik, mengadu kepalan tangan.

“Siap,” ucap ketiga orang di belakang mengangguk mantap.

Raungan minta makan dari sistem pencernaan wanita berambut hitam itu langsung membuat Roagal, Fristi, dan Makro menyodorkan kotak berisi makanan tanpa menggerakkan raut wajah. Wajah kapten merona merah muda. Tapi dia memutuskan kembali memutar badan menyaksikan panorama, menjaga egonya.

Lift bergerak cepat mendaki lintasan setinggi dua ribu lantai. Kelap-kelip lampu penerangan dari luar lapisan kaca elevator mulai meriah. Menampilkan lanskap batuan tandus berlapis lempengan-lempengan logam struktur benteng bersama beberapa kapal yang mulai lepas landas dari platform bandara metal pada permukaannya.

Pintu terbuka. Kapten Lumine langsung melangkah keluar. Tiga petinggi menyusul selepas menyelesaikan sarapan dan tergesa membuang kotak makan sekali pakai menuju tempat sampah di dalam lift.

Puluhan bahkan ratusan personel mengenakan seragam standar aliansi membentuk barisan. Semuanya adalah kru kapten. Sebagian masih ada yang mengelesot, bersikeras melanjutkan makan, seakan pertempuran mendatang hanyalah adegan selingan penghias kehidupan menyedihkan mereka.

“Perhatian, kapten tiba!” teriak seorang, cekatan berdiri.

Barisan panjang di kanan-kiri mengangkat hormat. Beberapa kru bahkan masih mengunyah. Kapten, Roagal, Fristi, dan Makro menghentikan langkah, membalas.

Notifikasi muncul. Nova tiba di peron. Bersiap mendarat.

Desing mesin halus merambat memenuhi udara. Getarannya bahkan menggelitik sampai perut, atau itu hanya perasaan kapten Lumi yang belum makan. Sebuah kapal tipe korvet sepanjang hampir tiga ratus meter berspektrum warna kelabu berhias beberapa lempeng zirah oranye menurunkan ketinggian. Beberapa mesin pendorong minor (Thruster) mendesis, mengoreksi titik tengah posisi pendaratan. Kaki-kaki penopang membuka dan meletakkan sepenuhnya bobot objek seberat lebih dari seperempat juta ton kepada platform lapangan landasan terbang.

“Semua personel menuju stasiun tempur!” perintah kapten Lumine sembari mempercepat langkah setelah kibasan angin berhenti.

Aye!” jawab menggelegar serentak barisan.

Setidaknya orang-orang di posisi paling bawah sekalipun masih punya kesadaran untuk tetap mengikuti rantai komando.

“Kapten, kami tidak ikut,” ujar salah satu personel mengangkat tangan, memasang wajah lesu bersama belasan orang di tengah barisan yang mulai bergerak.

Atau, mungkin tidak.

***

LumineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang