“Mendeteksi trayek proyektil.” Fristi memperingatkan. “Komando armada memerintahkan semua kapal menghentikan pergerakan, pertahankan susunan formasi, sambil menghindari tembakkan.”
Komentar kapten-kapten kapal aliansi terdengar lewat jalur lokal – aman dari telinga petinggi. Satu dua bilang perintah itu ibarat menyuruh mereka menghindari lemparan bola sambil berdiri menggunakan sebelah kaki. Beberapa gelak tawa memenuhi komunikasi satgas untuk sesaat.
Setiap lima menit berselang, rentetan tembakkan dukungan markas Kivyel tiba. Formasi rudal dan roket melesat membantu menutupi kekalahan jumlah kapal armada aliansi.
“Novi, jalankan inisiatif pengelakkan,” perintah Letnan Roagal. Ekspresinya masih cukup cemas.
Positif terpampang pada konsol.
“Makro, kita siap, kan?”
“Aye! Seluruh pendorong minor berfungsi penuh.” Makro menyalakan komunikasi visual, mengangguk.
Mesin-mesin pendukung di setiap sisi lambung Nova berkelip biru, siap terpacu kapan dan ke arah mana saja sesuai kebutuhan.
“Walau mesin satu mati, masih ada tiga pengganti. Tenang saja, Letnan.”
Berdua tertawa kecil. Sambil sedikit berkeringat karena suatu alasan. Keadaan akan semakin meriah tidak lama lagi, dan mereka berharap agar sang kapten tidak memprakarsai tindakan konyol apapun.
Layar visual menyusul menampilkan banyak sekali lintasan garis-garis lurus imajiner rumit saling silang tumpuk, memotong formasi lintasan armada aliansi.
Pemandangan bintik-bintik berkelip menghiasi jendela pantau layaknya cahaya bintang. Tapi objek-objek tersebut bukanlah bintang atau gelombang tembakkan fasilitas Kivyel, melainkan peluru meriam hiperelektromagnet yang nampaknya sama sekali tidak menyenggol bentrok rombongan rudal sebelumnya, dan masih melaju dalam kecepatan lumayan tinggi.
Kapten Lumine mengamati sekejap. “Novi, nyalakan kemudi. Aku ambil setir.”
“Positif. Membuka kunci. Mengaktfikan kendali manual.”
“Kapten!” Makro, Fristi, bahkan Letnan Roagal yang notabene biasanya menurut saja, ikut berteriak. Ketiganya kompak memelototi pimpinan mereka.
“Sebentar saja.” Kapten Lumine mengangkat bahu dan kedua telapak. “Ayolah, kru ku yang penakut. Cuma sebutir peluru meriam musuh mengarah kemari. Bukan begitu, Letnan?”
Letnan Roagal mengembus, mengusap jidat, membenarkan topi setelah mengecek sendiri bahwa perkataan wanita itu memang benar adanya. Dia tersenyum terpaksa. “Baik, untuk sekarang. Tapi harap perhatikan kapal di sebelah, Kapten.”
“Jangan khawatir. Kalian tahu kemampuanku.”
Fristi menoleh, cengar-cengir. Diam-diam menempelkan telapak prostetik bersama sarung tangan kanan ke permukaan meja. Menyalakan mekanisme kunci magnetik. “Justru karena itu kami meminta anda untuk tidak melakukannya, kapten Lumi.”
“Tolong, menghindarnya jangan terlalu gila!” pinta Makro.
Kapal-kapal kelas perusak memutar haluan, memiringkan posisi, bersiap melaksanakan metode defleksi. Peluru-peluru hiperelektromagnet memukul telak lapisan-lapisan zirah. Namun tembakkan armada kekaisaran melecit, terpental setelah mengenai sudut kemiringan yang telah disesuaikan. Proyektil berbelok tanpa menembus pelindung sama sekali, menyisakan corengan-corengan warna oranye menyala.
Sedangkan penjelajah-penjelajah berat nampaknya malas, enggan bergerak. Mereka fokus menggeser mekanisme pelindung di haluan depan. Lapisan zirah bergerak seperti orang menutupi wajah dengan kedua tangan, atau mata terpejam. Memayungi lensa optik berserta moncong-moncong senjata menggunakan lempengan kelabu pekat setebal beberapa puluh meter. Rentetan tembakkan dari kapal lebih kecil milik armada kekaisaran meletup meriah, pecah, atau terpental, tak mampu melubangi komposit pelindung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lumine
RandomMengisahkan Alistia Lumine. Anggota militer kasta bawah yang selalu dipandang sebelah mata. Salah satu dari sekian banyak anak-anak terlantar korban tragedi masa lampau. Sekarang, menjabat sebagai kapten korvet aliansi. Lumine selalu bermimpi menjad...