“Makro, ada apa di belakang sana?” tanya kapten sambil memelototi rel fasilitas kemudi massal.
“B-biasa. Reaktor usang kita merajuk lagi,” balas Makro yang suaranya mencoba tetap tenang. Seperti dia sudah melewati situasi ini puluhan kali. Memang.
“Alihkan daya. Ganti ke mesin lain. Sudah hampir giliran kita,” saran kapten Lumine.
“Kapten, ganti daya ke mesin tiga dan empat hanya boleh dilakukan waktu pertempuran. Perintah anda menyalahi protokol.”
“Terserah, cepatlah, sebelum halo plasmanya dingin!”
“Mesin dua, baik. Mesin satu, sedang kami usahakan. Seperti menyalakan ulang oven pemanggang,” tanggap Makro melawak. Mengibaratkan kumparan sabuk plasma di dalam reaktor fusi seperti adonan kue. Sedikit, menyinggung keahlian sampingan dan hobi lelaki itu, memasak.
“Kalian yang akan aku panggang kalau tidak segera memperbaikinya!” Bentak wanita itu.
Makro terpojok, kehabisan ungkapan. “Baik, kapten.” Saat candaan tidak berhasil, waktunya kembali bekerja.
Lempengan pintu baja raksasa warna kelabu terbelah, menyajikan pemandangan lorong metal berpola generik dengan barisan lampu putih di kanan-kiri. Pada ujung terowongan, gelap. Entah apa pintu di sana memang tertutup, atau tampilan latar angkasa?
“Ini Kapten Alistia Lumine berbicara. Lapor! Nova, nomor lambung 8.579-G-Fie. Status, siap mengikuti antrean peluncuran,” terang kapten kepada petugas pengawas.
“Ini pengawas terowongan nomor 2. Kelas Callista Conncordia, Nova, harap segera maju mengisi posisi!”
Kelas Callista Conncordia. Nama tersebut diambil dari seorang veteran, pahlawan lebih tepatnya. Entah siapa, atau darimana, tidak penting-penting amat. Tapi, untungnya kapal kapten bukan yang terburuk dalam jajaran militer antariksa aliansi. Namun juga, bukan pula terbaik. ¾ deret teratas (Top Tier) tipe korvet, bisa dikatakan demikian.
Nova masih tertahan bisu pada lempengan rel.
“Apa ada masalah?” tanya petugas pengawas.
Kapten Lumine mengembus. “Ini kapten berbicara. Siap, masalah teknis kecil pada bagian mesin. Kami akan segera melanjutkan.”
“180 detik. Lewat dari itu, kami terpaksa menyingkirkan kalian dan mempersilahkan kapal di belakang untuk lewat. Armada antariksa kekaisaran tidak akan menunggui kalian berbenah!”
“Nova kepada pengawas terowongan 2. Dimengerti,” ujaran kapten terdengar merendah.
Komunikasi masuk lewat seluran terbuka. Seluruh kru bahkan bisa mendengarnya dari speaker ruang makan. Kapten kapal korvet di belakang memulai percakapan.
“Hahaha. Aduh, menyedihkan sekali. Pertempuran bahkan belum mulai, sedangkan rongsokan kalian sudah bermasalah? Jangan bilang kalian juga lupa membawa amunisi. Haha.”
Kapal antariksa yang tidak bersenjata?
Celaan itu bahkan lebih parah daripada ungkapan meriam penembak upil. Karena apa? Karena, objek bergerak cepat di luar angkasa mampu menyebabkan kerusakan mengerikan. Upil yang melesat dengan velositas super tinggipun, mampu membuat penyok pelat baja. Maka, jangan bayangkan sebuah kapal bermassa jutaan ton sengaja menabrakkan diri ke permukaan planet, sebongkah batu saja dahulu pernah membuat peradaban umat manusia keringat dingin waktu terdeteksi mendekat.
Ya, sederhananya, ejekan kapal antariksa yang tidak bersenjata, lumrah dapat membuat siapapun kaptennya sakit pantat.
Wanita itu membalas mamakai tawa datar. “Haha.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumine
RastgeleMengisahkan Alistia Lumine. Anggota militer kasta bawah yang selalu dipandang sebelah mata. Salah satu dari sekian banyak anak-anak terlantar korban tragedi masa lampau. Sekarang, menjabat sebagai kapten korvet aliansi. Lumine selalu bermimpi menjad...