Adalah masa jaya, adalah juga masa gelita.
Masa umat manusia sebenarnya paling bersuka cita. Kehidupan berlimpah ruah, makmur sejahtera. Peradaban telah sebegitu cemerlang karena mempunyai kuasa. Mereka nyaris melewati batasan kodrat, terpisah tinggal selangkah untuk menjadi dewa.
Sayang,...
Tiada nurani mereka merasa ketika menundukkan serta menginjak-injak para Ibu Pertiwi. Tiada kekuatan mereka percayai selain teknologi. Tiada pelindung mereka yakini kecuali diri sendiri. Tiada hitam atau putih, di antara dualitas, mereka menari.
Terlampau congkak. Mata tertutup oleh balutan ego. Hingga, apalah arti pengorbanan total agar mencapai puncak takhta kemenangan?
Lalu demi melindungi kemanusiaan, manusia membuang kemanusiaannya.
Mereka mengirimkan bala tentara berupa boneka-boneka baja tanpa bekal sanubari.
Menitahkan wahana-wahana, juga armada-armada yuda paling perkasa yang pernah ada layaknya mainan, tetapi untuk saling membinasakan.
Bel-bel berdenting mewartakan kenestapaan.
Para lelembut disebar ke berbagai penjuru. Makhluk-makhluk halus ini memereteli segalanya demi menggandakan jumlah, serta menebar teror dan kehancuran tak kasat mata.
Pasukan-pasukan gaib ikut terlibat konfrontasi, membunuh tanpa menyentuh melalui perang ilusi maya.
Saat semua etika juga moral dilanggar, pertanyaannya adalah, siapakah yang berani menegur keangkuhan, mungkin kebodohan mereka?
Jawabannya ternyata sederhana.
Ayuandaye Etta Ettu (Saya Memahami Perkaranya).
Alkisah, hanya dengan satu kali Sang Eka, selaku Saudari Pertama menghunuskan Mahacandrasa Kirana, maka perang terbesar sepanjang sejarah umat manusia terpaksa berakhir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumine
RandomMengisahkan Alistia Lumine. Anggota militer kasta bawah yang selalu dipandang sebelah mata. Salah satu dari sekian banyak anak-anak terlantar korban tragedi masa lampau. Sekarang, menjabat sebagai kapten korvet aliansi. Lumine selalu bermimpi menjad...