Chapter 1- Bersiap! [Part- 4]

16 2 0
                                    

“Kita diminta untuk menyelaraskan jalur lintasan,” ucap Fristi mulai mengenakan modul komunikasi, menggantung sepasang bongkahan hitam seperti headset ke telinga. Dia tengah duduk pada bangku pos satu level di kiri bawah, persis depan jendela pantau berukuran besar. Sibuk menekan-nekan tuts, menyinkronkan aliran komunikasi, serta mengunduh peta navigasi terbaru.

Novi masih memegang kontrol kapal. Dia mendengar dan mengikuti arahan. Markah positif terpampang pada layar status kemudi otomatis.

Nova bersama beberapa puluh korvet berbagai kelas berbaris memasuki fasilitas kemudi massal (Mass Driver). Tiga terowongan sepanjang 200 km yang menjadi jembatan untuk melesatkan kapal-kapal menuju angkasa lepas. Kalau dilihat-lihat dari jarak jauh, lebih mirip garpu tertinggal di hamparan padang tandus.

Kenapa tidak serta-merta menaikkan ketinggian dan melenggang pergi? Tidak efisien. Apalagi kalau harus mengeluarkan objek seberat beberapa miliar ton lebih seperti kapal perusak (Destroyer) dari lingkaran orbit. Walau nyatanya kekuatan dorong mesin memang mampu membawa tipe korvet dan fregat langsung meninggalkan lingkup atmosfer, tetap saja, gravitasi satelit berdiameter lima belas kali terowongan peluncuran lumayan mengganggu.

“Anda adalah pemimpin yang baik, kapten Lumi,” puji Fristi, menoleh sambil tersenyum.

Seisi ruangan terlihat remang-remang. Hampir gelap, tepatnya. Ratusan indikator lampu memancarkan berbagai ragam warna. Layar-layar hologram terpampang di atas deretan meja kendali, namun tidak mampu menerangi seluruh ruangan.

Kapten belum mengambil duduk di bangku komando. Wanita itu menggenggam pembatas, menundukkan pandangan, menoleh kepada Fristi. “Kenapa bisa begitu?” tanyanya mengerutkan dahi.

“Memaksa para kru tank ikut, itu karena, ...” perkataan Roagal yang berdiri beberapa pijakan di samping kiri kapten tidak diselesaikan.

Sepetak layar taktis menampilkan suasana hanggar kendaraan. Unit-unit lapis baja beroda rantai bersenjata utama berupa meriam hiperelektromagnet, terkunci bisu bersama beberapa kendaraan berat lainnya. Para kru tank membentuk barisan duduk, bersandar memangku wajah di sekeliling dinding kompartemen. Mereka semua mengenakan kostum kombat warna kelabu pekat, lengkap beserta rangka baja eksoskeleton dan helm penuh (Fullface) berkaca polimer transparan. Tidak lupa setiap personel menenteng sepucuk senapan serbu, untuk jaga-jaga

“Misalkan angkatan antariksa aliansi kalah dalam pertempuran ini, pihak kekaisaran pasti akan langsung melaksanakan skenario bumi hangus terhadap seluruh fasilitas Kivyel. Kalau sampai itu terjadi, pasukan di permukaan tidak akan mampu berbuat apa-apa selain pasrah. Dan ketahuilah, kekaisaran memiliki reputasi yang sangat baik dalam memperlakukan tawanan perang. Ah, ini sarkasme, kalian tahu?” Makro sebagai salah seorang petinggi yang punya hak mendengar percakapan ruang komando menjelaskan. Wajahnya timbul pada perangkat penampil citra hologram. Memenuhi sepetak layar pantau.

Mereka berempat tertawa kecil.

Personel wanita yang sebelumnya meludah di hadapan kapten Lumine tangah duduk pada puncak turret (Kubah Laras Meriam). Helmnya terlipat ke belakang seperti tudung hoodie. Dua kotak metalik seukuran koper jinjing tergeletak dekat pahanya. Dia mengayunkan kaki sambil menyandarkan pipi pada sebuah tabung merah, memeluk aparatus pemadam api tersebut erat-erat. Wanita itu nampak memejamkan mata, berusaha tidur.

“Singkatnya, nasib orang-orang akan kacau kalau masih di sana.” Fristi menambahkan. “Ih, aku tidak mau membayangkan terjebak di dalam bungker selama sesi bombardemen.” Dia menggeleng.

“Benar. Setidaknya, di sini, di Nova, bersama kita, mereka masih memiliki kesempatan bertarung. Bukan begitu, kapten?” tutup letnan Roagal.

Kapten putar badan, menempatkan kedua tangan pada pinggang, tersenyum mengamati tiga petingginya secara bergantian.

“Aku suka pemikiran kalian. Tapi, jujur, tidak.” Ekspresi kapten kembali sedia kala. “Kita tengah melawan armada antariksa kekaisaran yang lumayan besar, artinya, kita perlu petugas solder tambahan. Bayangkan, berapa banyak peluru akan berkeliaran nanti? Aku hanya tidak suka lambung kapalku berlubang ketika pertempuran. Itu saja. Iya kan, Novi? Kau tidak suka terluka, bukan?” ucapnya tanpa dosa mengangkat kedua bahu, mengayunkan tangan.

Saya tidak suka,” Novi berkata memakai warna suara seorang wanita. Memang dia tidak terlalu pintar, atau dikatakan berpengalaman. Perkataannya terdengar seperti hasil bacaan narator offline buku audio.

Letnan Roagal memutar leher, saling tatap dengan Fristi dan Makro. Mereka memasang wajah tanpa ekspresi. Makro menutup komunikasi visual. Kembali mengamati pos masing-masing. Tidak menghiraukan kapten Lumine yang terus bertanya letak kesalahannya di mana, sambil memasang muka minta kena hajar.

Kapten Lumi ternyata lebih sayang dengan kapalnya. Atau benar? Dia tidak ingin melihat ada lagi yang gugur. Cukuplah kejadian waktu itu saja.

Lampu ruang komado berkedip beberapa kali. Bunyi kelontang metal memantul memenuhi seisi lambung. Pertanda pasokan daya terganggu.

Peringatan, mesin satu mati,” ujar Novi.

“Ahhhhhhhhh!”

Fristi tertunduk. Kapten menepak wajah. Letnan mengembus, geleng-geleng kepala. Hampir semua orang di dalam Nova mengeluh, terutama yang tengah terjebak dalam toliet. Sasaran utama mereka adalah, kru bagian mesin.

Makro keringatan.

***

LumineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang