Hari ini Jamie diajak pergi ke psikolog kenalan Jiwon. Jiwon ingin membantu meringankan beban Jamie. Jiwon berharap Jamie bisa kembali tenang dan mendapatkan solusi terkait masalahnya.
Awalnya Jamie tidak mau. Jamie takut akan ditertawakan. Jamie juga takut akan dianggap gila.
"Apa nggak bisa sama kamu aja sih, Won? Maksudku, enggak usah pergi ke tempat gituan segala. Cukup sama kamu aja" ucap Jamie kemarin
Jiwon tersenyum tipis. "Nggak bisa, Kak. Kakak harus ditangani sama ahlinya"
"Kamu kan sama aja? Kamu anak psikologi kan?"
"Aku masih dalam tahap belajar, Kak. Aku takut salah nantinya. Kak Jamie harus ditangani sama yang benar-benar ahli. Jangan khawatir. Kenalanku ini bener-bener terpercaya, kok. Beliau sering diundang seminar ke kampusku"
"Aku takut berhadapan sama orang asing, Won"
"Ya aku kan juga orang asing bagi Kakak?"
"Tapi--"
Jiwon mengusap-usap tangan Jamie, berusaha menenangkannya. "Udah, nggak usah khawatir. Ada aku yang akan nemenin Kak Jamie"
Begitulah, akhirnya Jamie mau diajak pergi ke psikolog. Dan sekarang mereka sudah bersiap mau berangkat.
"Bentar ya Kak, aku pesen grabcar dulu" ucap Jiwon yang diikuti anggukan kepala Jamie
Tapi baru saja jemari tangan Jiwon bergerak hendak memesan ojek online, sebuah mobil berhenti di depan gerbang kosan. Kaca mobil turun, dan muncullah wajah tampan Jung Wooseok.
"Halo, gadis-gadis cantik... Mau pergi ya?"
Jiwon melongok ke dalam mobil. "Kamu ngapain ke sini?"
"Kebetulan lewat aja kok. Lagi jalan-jalan, mumpung nggak ada kelas. Kalian mau ke mana?"
Jiwon membisikkan nama suatu tempat kepada Wooseok. Kening Wooseok sempat berkerut, tapi kemudian normal kembali.
"Ya udah, aku anterin aja"
"Jangan, Seok. Ntar ngerepotin kamu lagi"
"Nggak, kok. Aku kebetulan lagi free. Santai aja. Ayo, cepat masuk"
Jiwon menoleh ke arah Jamie. Jamie menganggukkan kepalanya.
"Iya deh... Kak Jamie, ayo masuk..."
Akhirnya tidak jadi naik ojek online, jadinya naik ojek gratisan alias Jung Wooseok.
Sepanjang perjalanan, tidak banyak obrolan tercipta. Sepertinya Wooseok agak canggung karena ada Jamie di antara mereka. Dan Jamie cukup peka untuk menyadarinya. Jamie juga menyadari dua anak manusia yang duduk di bangku depannya itu sama-sama saling suka. Tapi Jamie juga bingung harus bertindak bagaimana. Akhirnya ya, hanya sedikit saja obrolan yang ada.
Beberapa menit berselang, sampailah mobil Wooseok di depan kantor psikolog kenalan Jiwon. Palang nama bertuliskan 'Park Haejin, M.Psi' terpampang jelas di halaman.
Jiwon menuntun Jamie masuk ke kantor psikolog itu. "Ayo Kak..."
Jamie terlihat masih takut-takut. Diliriknya pergelangan tangannya yang ada plester bekas lukanya beberapa hari yang lalu. "Aku bakal diketawain nggak sih?"
"Nggak bakalan... Udah, ayo"
Pelan, Jiwon mengetuk pintu ruangan Park Haejin. Setelah dipersilakan masuk, akhirnya mereka berdua pun memasuki ruangan yang bersih dan wangi itu.
"Oh, Park Jiwon. Lama nggak jumpa. Ini teman kamu?" seru Park Haejin
Jiwon menganggukkan kepalanya. "Iya, Pak. Ini yang saya ceritakan kemarin"
"Hmm baiklah. Kita bisa mulai konselingnya. Jiwon, bisa tinggalkan kami berdua saja?"
"Baik Pak"
Jiwon menepuk pundak Jamie pelan. "Semangat ya Kak?"
Setelah Jiwon pergi, sesi konseling pun dimulai. Jamie mulai menceritakan masalahnya, lengkap tak kurang suatu apapun. Haejin mendengarkan dengan seksama.
Setelah Jamie selesai bercerita, Haejin pun berkata, "Wah, saya turut sedih dengan apa yang menimpa kamu. Saya hanya bisa membantu memberikan saran kepada kamu"
Park Haejin lalu memberikan saran-saran kepada Jamie. Haejin sangat berhati-hati, agar tidak menyinggung atau melukai perasaan Jamie.
"Oh ya, kalau boleh saya bertanya, siapa nama ibumu?"
Lirih, Jamie menjawab, "Nama ibu saya Jessica. Jessica Jung"
"Hmm Jessica Jung ya? Seperti pernah dengar nama itu. Ah tunggu, berarti nama keluarga kamu diambil dari--"
"Iya, dari ayah saya. Ayah saya bermarga Park"
"Begitu ya? Saya juga bermarga Park sih, haha. Baiklah, kita sudahi konseling hari ini. Ini resep yang harus kamu tebus. Semangat ya!!!"
Jamie mengangguk. Dia sedikit merasa tenang setelah melakukan konseling. "Terimakasih..."
Setelah keluar dari ruangan Park Haejin, Jamie disambut Jiwon dan Wooseok. Jiwon terlihat senang melihat Jamie sudah lebih tenang. Wooseok pun mentraktir mereka makan di kafe dekat kantor psikolog itu.
**
Jinjin mengintip halaman kosan dari balik tirai kamarnya. Dia bisa melihat Daniel yang sedang bercanda-tawa dengan Jihyo. Ada Jimin, Jisung dan Jay juga di sana.
Tangan Jinjin meremas kuat-kuat bunga mawar yang terbuat dari kain flanel yang dibuatnya sendiri. Ada nama Jihyo yang tertulis dintangkainya. Hati Jinjin teriris. Dia sedikit menyesal terlambat menyatakan cinta kepada Jihyo, dan sekarang gadis itu sudah dimiliki oleh sahabatnya. Jinjin terlalu percaya diri sampai lupa kalau ada peluang Daniel untuk mencintai kekurangan Jihyo juga.
Jinjin menghela nafas. Ah, sudahlah. Toh Jihyo dimiliki orang yang bisa membuatnya bahagia. Jinjin bisa apa?
Jinjin lalu berbalik dan mengambil ponselnya. Dicarinya kontak Seungyoun, lalu memencet tombol dial.
"Halo Youn? Aku mau tanyain lagi soal yang kemarin. Eh? Nggak bisa? Kenapa? Oh gitu... Jadi aku nggak bisa ya? Baiklah, makasih..."
Jinjin menutup telepon dengan perasaan kecewa. Kembali ditatapnya Jihyo yang masih bercanda-tawa dengan Daniel.
"Semoga kamu secepatnya mendapatkan donatur organ, Hyo..."
#####
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Park J
FanfictionTentang anak-anak Park J yang mengalami masalah keluarga, sampai suatu hari mendapatkan undangan ke sebuah kos-kosan yang ternyata menyatukan mereka, dan membantu mereka memecahkan masalah masing-masing.