Setitik Ruang Hampa

2.7K 277 40
                                    

Disebuah ruangan VIP rumah sakit Erlangga, berkumpullah orang-orang berbeda gender dan usia, bersuara pelan agar tidak mengganggu anak dan ayah yang sedang tidur berpelukkan.

Para laki-laki berbincang serius, tentang kejadian tempo hari lalu yang hampir membuat mereka kehilangan si Bungsu selamanya, kecuali Diana memilih duduk di samping ranjang pesakitan Dande.

Senyum Diana terbit melihat suaminya begitu posessif memeluk anak bungsunya. Tiga jam lebih anak dan Ayah itu mengarungi alam mimpi, tampaknya begitu indah menghanyutkan mereka. Biarlah mereka bersenang-senang di sana, sampai waktu makan siang nanti Diana bangunkan.

BRAK

Mereka tergelonjat kaget, terutama si Bungsu menggeliat gelisah, terganggu tidurnya ketika pintu dibuka tidak santainya. Fahri langsung membuka mata, bersiap memasang badan melindungi si Bungsu dari bahaya. Ternyata dugaannya salah, bukan musuh yang datang menyerang, melainkan seseorang  yang tidak pernah pulang-pulang beberapa tahun belakangan. Lega bisa bertemu lagi, setelah lamanya orang itu pergi jauh menenangkan diri.

Pemuda itu masuk, melangkahkan kakinya menuju ranjang pesakitan Dande, matanya menelisik setiap jengkal tubuh kecil dipelukkan orang yang ia sebut Ayah.

“Dia ….” Bibirnya bergetar tak sanggup melanjutkannya kata-kata. Perasaan senang, bahagia, dan sedih bercampur aduk meluapkan emosinya.

Orang itu tidak mempedulikan penampilannya yang acak-acakkan, baju kemeja tidak dikancing sempurna, keringat dan nafas memburu seperti sehabis marathon berjam-jam.

“Adek, Kak,” Diana menyambung perkataan pemuda itu.

Diana mengkode Fahri memberi ruang, Fahri melepaskan pelukannya.
Si Bungsu terbangun pergerakan ayahnya, mengedarkan penglihatannya merasa ada seseorang di samping brangkar selain ayahnya. Benar saja, ada Bunda dan kakaknya Faro, tapi mengapa penampilannya kacau?

“Kakak habis ngapain? Kok mandi keringat gini,” ucap Dande serak khas bangun tidur, yang ditanya hanya diam menatapnya dalam.

Dande mencoba duduk, dengan sigap Fahri dan Diana membantunya duduk bersandar di brangkar, disetel tinggi di bagian atas. “Kakak kenapa? Kok diam?” tanya Dande, memegang punggung tangan kakaknya.

Genggaman tangan Dande dibalas lembut. “Adek ... ini Adek kakak, kan?”

Dande memiringkan kepalanya, terdengar absurd pertanyaan kakaknya ini. Sudah jelas-jelas ia adeknya, masih ditanya lagi. “Kakak sendirikan bilang, kalau aku Adek kandung Kakak.”

Tanpa aba-aba, tubuh Dande ditarik kepelukan pemuda itu. “Adek ... hiks ... jangan pergi lagi ... kakak nggak sanggup kehilangan Adek ... hiks.” 

“Ssshht sakit.” Dande meringis kesakitan, bekas jahitan operasinya ditekan kuat.

“Eeeh Fero, jangan dipeluk gitu adeknya. Adek kesakitan,” ucap Diana dan Fahri Khawatir.

Mereka yang berada di sofa juga ikutan khawatir, langsung mengerubuni brangkar Dande.

Spontan orang itu melepaskan pelukkannya. “Maaf Dek, kakak nggak sengaja.” Dande mengangguk, menahan sakit.

PLAK

Geplakan sayang dilayangkan oleh orang yang mirip dengannya. “Lo udah nggak pulang-pulang tiga kali lebaran kayak bang toyib, datangnya bikin Adek gue tambah sakit.”

“Nggak sengaja Kak, dia juga Adek gue kalau lo lupa.” Balasnya tidak terima.

Dande kaget, baru sadar Kakak Faro ada dua. Kenapa bisa? Nggak mungkinkan kakaknya membelah diri. “Kok Kakak bisa dua?” keluarga Erlangga dan Tama terkikik geli.

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang