Semesta tak pernah iba menghancurkan hati manusia, memaksa menerima luka dari semua kisah, hingga menjadi derita tak kunjung reda.
Tuhan seolah membiarkan takdir dipermainkan semesta, mengamati ribuan manusia terjerat dalam lukanya. Namun, Tuhan punya kendali semesta, menjalankan takdir manusia.
Tak harus semuanya dimengerti, biarkan waktu menjawab rahasia Sang Ilahi, hingga akhir cerita penghujung kisah yang pilu.
Satu persatu, harapan manusia dipatahkan kenyataan, hingga mimpi yang dibuat menjadi kehidupan, dibunuh oleh keadaan. Satu hal yang tersisa, mengiba kepada Sang Pencipta, merayu hati yang sebelumnya dipalingkan.
Manusia hanyalah raga yang berisikan nyawa penuh keanifan, menaruh banyak keinginan tapi lupa hak Tuhan yang harus disembahkan, dan ketika Tuhan hanya mewujudkan sedikit dari keinginan, jeritan meminta lebih menggema dipenjuru langit. Begitulah keserakahan mengambil alih manusia.
Rini duduk di kursi kebesarannya, menyilangkan kakinya, memandang kaca tembus pandang yang menampilkan pemandangan kota dalam gedung pencakar langit.
Alih-alih mengerjakan dokumen yang menumpuk, ia lebih tertarik memandang hamparan kota yang dikelilingi cahaya.
Segelas wine ia pegang, menggoyangkan acak cairan merah di dalamnya. Diteguk perlahan, merasakan sensasi manis di tenggorokannya. Semenjak kematian suaminya--Tama ia menjadikan minuman berakohol itu sebagai penenang.
Sebuah getaran yang berasal dari benda pipi persegi di atas mejanya, mengalihkan fokus Rini. Tertera nama orang yang dinantikan.
Ketika diangkat, senyum mengerikan menggurat di wajah penuh keangkuhannya.
“Anak buahku berhasil menculiknya. Anak sialan itu sudah berada di tempat yang kau perintahkan, sebentar lagi permainan sesungguh akan dimulai.”
Tawa Rini menggelegar, hatinya begitu puas menerima informasi yang disampaikan dari seberang. “Bagus, kau begitu menyenangkan hatiku.” Panggilan diputus secara sepihak.
Mengetuk meja kerjanya dengan tatapan penuh dendam. “Sebentar lagi keluargamu akan merasakan apa yang aku rasakan selama ini!” ucapnya dengan lantang.
Dibalik pintu, sepasang telinga menangkap tajam perkataan Rini. Elang tertegun, tangannya terhenti mendengar ucapan maminya itu.
Niat awal ingin memberitahukan kondisi Dande yang tak baik-baik saja, agar membuat maminya luluh. Namun ia urungkan, penasaran siapa orang yang maminya maksud.Mendengar langkah kaki mendekati pintu, Elang buru-buru bersembunyi di patahan dinding, mengamati Rini membuka pintu, kaki jenjang Sang Mami melangkah lebar, menuju arah keluar gedung.
Elang mengikuti dari belakang, melangkah perlahan takut ketahuan, hingga langkah terhenti saat Rini masuk ke dalam mobil. Dengan cepat, Elang pergi mengambil motornya, membuntuti kemana mobil itu pergi.
Satu jam perjalanan mengikutinya, belum ada tanda-tanda roda empat itu akan berhenti. Jalan yang dilalui semakin lama semakin sepi, sampai masuk daerah perhutanan.
Dari kejauhan nampaklah sebuah rumah besar yang terbangkai di tengah hutan, mobil yang membawa Rini berhenti tepat di depan pelataran rumah.
Elang mematikan motornya di semak-semak, agar tidak ketahuan, mengamati sekumpulan bodyguard yang berjaga di laur rumah itu.
Dapat Elang lihat, Rini keluar dari mobil, bodyguard mempersilahkannya masuk ke dalam. Ia semakin curiga, maminya itu melakukan hal yang tidak-tidak.Elang menunggu setengah jam mencari celah bisa masuk ke dalam. Ketika para bodyguard tampak mengganti shift, Elang bergerak was-was mendekati rumah terbengkalai itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion || Last Destiny [TERBIT]
Novela JuvenilPart Lengkap+sudah dibuku kan, bisa dipesan melalui Shopee Firaz Media Takdir Sesungguhnya telah datang, membawa luka baru penambahan luka yang lalu. Menggores asa yang dia punya, mengikis hubungan yang jauh dari kata sempurna. Dia dengan dunia ke...