Kepergian Meninggalkan Duka

1.4K 144 4
                                    

Bunga belasungkawa berjajar rapi menghiasi area mansion keluarga Erlangga. Sekumpulan orang-orang berpakaian hitam membacakan ayat suci di tengah tubuh tak bernyawa.

Elang berbaring di sebelah tubuh yang mendingin, mengusap sayang pipi nan pucat pasi, memanggil nama yang sudah tak bertuan. Mau sekeras apapun membangunkannya, tidak akan bisa mengusik lelap.

Tubuh Rini bergetar dengan mata merah sembab, mengalirkan sungai kecil di pipinya, memegang tangan yang ditutupi kain, terisak-isak menyesali perbuatan tak berarti.

Fahri dan Diana duduk menjauh, malu mendekat karena merasa bersalah sosok itu pergi.

Reza bersandar di dinding, menatap kosong mata terpejam damai. Merasa gagal menjadi Dokter yang tidak bisa menyelamatkan salah satu bagian keluarganya.

Fero, Mahen, dan sahabat Elang tak jauh dari sana, sama-sama kehilangan. Tidak pernah mereka bayangkan semua ini terjadi.

Dunia mereka hancur berkeping-keping, dihantam keras kenyataan pahit.

Tibalah waktu memandikan. Tubuh itu di gotong ke tempat pemandian. Air mata mereka semakin deras, melangkah berat memandikan raga yang ditinggalkan.

Setelah proses memandikan selesai, berlanjut proses memakai baju terakhir. Memperlihatkan jelas tubuh yang kaku, membuat siapa saja yang memandang tak kuasa menahan tangis. Lembar demi lembar kain putih membungkus tubuh tak bernyawa itu.      

Tibalah mengantarkan peristihatan terakhir. Keranda besi diturunkan di pinggir lubang yang sudah di persiapkan. Reza, Fahri, dan Elang turun ke bawah, menyambut dan menempetkan tubuh yang telah dipakaikan kain putih ke dalam lubang yang di gali.

Elang mulai mengumandangkan azan untuk tubuh yang telah dibaringkan di dinding lubang. Rasanya tidak sanggup melantunkan setiap bait menggores hati. Namun, mengikhlaskan adalah jalan terbaik demi ketenangan yang telah pergi.

Perlahan, tanah dijatuhkan, menimbun lubang, mengubur orang tersayang. Raungan tangis keluarga menjadi-jadi saat tubuh itu ditelan tanah.

Untain doa diaminkan para pelayat, mendoakan ketenangan jiwa yang berpulang. Satu persatu orang-orang berlalu pergi, meninggalkan keluarga duka yang masih di gundunkan tanah.

Awan hitam menguasai langit biru, membawa rintik sejuk dan gemuruh menumpahkan kesedihan.

Dia telah pergi dan tak akan kembali, meninggalkan duka mendalam bagi orang yang menyayangi. Memilih lelap damai, menikmati kebahagiaan kekal abadi. Setiap manusia pasti akan merasakan mati, walaupun tidak tahu kapan itu terjadi.

Elang dan Rini duduk menangis di samping gundukan tanah, memegang kayu nisan bertuliskan nama kesayangan mereka.

Diana yang tak sanggup melihat Rini begitu terpuruk, memeluknya dari belakang. ”Maaf ….”

Belum sempat Diana menyelesaikan perkataannya, Rini langsung melepaskan pelukan Diana dengan kasar, menatap sendu keluarga Erlangga. Tanpa kata, dia pergi begitu saja.

Tangis Elang semakin keras meraungkan nama yang telah menyatu dengan tanah, separuh jiwanya seakan lepas bermasaan sosok itu pergi.

”Kenapa tinggalan Kakak?! Seharusnya Kakak yang pergi!”

Fahri mengusap bahu Elang. ”Nak, ikhlas. Biarkan dia pergi dengan tenang.”   

Elang membalikkan badan, menghadap Fahri. ”Aku … hiks nggak bisa, Om!”

Fahri membawa Elang ke dalam dekapannya, memberi ketenangan. ”Nak, kita yang ditinggalkan hanya bisa belajar ikhlas, memang berat, tapi … kita percaya suatu saat nanti bisa berkumpul lagi dengannya.”

Elang menangis sejadi-jadinya di pelukan Fahri, memeluk erat seakan tengah memeluk dia yang telah pergi.

Dirasa tenang, Fahri melepaskan pelukan. ”Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit.”

”Aku belum siap, Om,” ucap Elang menahan tangis.

Fahri tersenyum, mengusap kepala Elang dengan sayang. ”Nggak apa-apa. Om ngerti perasaan kamu. Kamu langsung pulang ke mansion, ya?” dijawab anggukan Elang.

Fahri memberi isyarat kepada Fero dan Mahen mengantarkan Elang, diikuti sahabat Elang.

Tinggallah keluarga Erlangga. Fahri berjongkok di samping gundukan tanah, memegang kayu nisan bertuliskan nama yang telah menyatuh dengan tanah, bulir air mata senantiasa jatuh meluapkan kesedihan. “Terimakasih atas semuanya.”

“Kami nggak akan melupakannya, semoga tenang di alam sana,” sambung Diana tulus.

Akhirnya, mereka memutuskan pergi menuju tempat kebahagiaan yang tersisa. Sesampainya mereka di depan ruangan khusus yang di lengkapi alat medis. Disambut Faro dan Fitri yang sedang berjaga.

”Bagaiamana keadaannya, Kak?” tanya Fahri kepada Faro.

”Belum ada peningkatan, Yah.” jawab Faro lesu, membuat mereka gusar.

Diana dan Fahri memilih masuk ke dalam. Diana duduk di kursi sebelah brangkar, memegang lembut tangan lemah itu, mengecupnya penuh kasih sayang. “Adek kapan bangun hmm? Bunda kangen sama Adek.” Nyaringnya suara  EKG yang menjawab.

“Bangun sayang, disini banyak yang nunggu Adek lo.” Fahri mengusap rambut yang mulai memanjang.

Perlahan tangan Fahri turun ke dada yang ditempelkan plester panjang menutupi bekas operasi. Teringat pengorbanan si pendonor yang merelakan nyawanya demi kebahagiaan mereka. Walaupun semasa hidupnya pernah membuat bungsu kesayangan mereka hampir meregang nyawa karena hanya sebuah kesalah pahaman.

“Dia sampai berkorban demi Adek. Adek nggak boleh nyerah, ya?”

Diana mengusap bahu kokoh sang suami, menenangkan hati yang rapuh. Dia tahu Fahri berat mengambil keputusan ini, mereka hanya diberi dua pilihan malam itu. Mengikhlaskan atau mengorbankan. Sampai keputusan mengorbankan adalah jalan terbaik demi mempertahankan kesayangan mereka.

”Mas, ini bukan salah kamu.”

”Tapi, seharusnya Tama tidak senekat itu mendonorkan paru-parunya.”

Diana menggelang, ”Mas, nggak ingat apa kata dokter waktu itu. Kemungkinan kecil Tama bisa bertahan.”

Air mata Fahri kembali jatuh, teringat kejadiaan nahas merenggut nyawa sang sahabat. Tama, mengalami kecelakaan ketika menuju rumah sakit, kondisinya kritis dan presentese selamat sangatlah tipis. Tama yang masih sadar meminta paru-parunya untuk Dande, tentu tidak disetujui yang lain, namun Tama tetap pada keputusannya, tidak peduli penolakan mereka.

”Aku bilang apa nanti sama Adek? Aku nggak sanggup melihat Adek hancur mengetahui yang menjadi pendonor adalah Tama, papihnya.

”Kita jelaskan pelan-pelan, Mas. Aku yakin Adek bisa menerimanya.”

Setiap insan tidak bisa menghindari perpisahan, bahkan jiwa yang hilang dan raga telah menyatu dengan tanah tidak akan bisa menghilangkan kesedihan. Namun, dari takdir yang ada hanya mampu melapangkan hati dirundung duka.


TBC




























Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang