Adek Pergi

2.3K 227 28
                                    

Ruang keluarga terasa mencekam, Tama mengintimidasi Elang. Awalnya dia hanya ingin pulang sebentar, membersihkan diri sebelum pergi ke mansion Erlangga, menemui Dande, anak bungsunya. Namun harus tertunda, melihat wajah lebam Elang dan amplop putih berisikan goresan tinta menyulut amarah. Rini duduk diantara mereka, mengantisipasi Tama jika kelepasan bertindak.

"Kenapa kau semakin sulit diatur, Elang?!" tanya Tama geram melihat ekspresi Elang tanpa merasa bersalah.

Elang menatap Tama santai. "Papi tanya aku?" Tertawa kecil, seakan mengejek Tama. "Seharusnya Papi tanyakan itu kepada diri Papih."

"ELANG!" bentak Tama.

Rini langsung memegang bahu Tama. "Mas, udah. Jangan terlalu keras, dia masih labil. Wajar melakukan kesalahan."

Tama menepis tangan Rini. "Wajar katamu?" tanyanya datar.

"Mas, Elang masih belum dewasa."

"Seharusnya dia berpikir dewasa sebelum bertindak, apa kamu tidak bosan memenuhi panggilan sekolah akibat ulah kenakalannya? Karena hanya masalah kecil, dia rela mempermalukan orang tuanya."

Tangan Elang mengepal kuat. "Papi nggak tahu apa yang terjadi!" teriaknya.

"Dengar, kan, Rin? Dia berani meninggikan suaranya dan tidak mau mengakui kesalahannya."

Rini merasakan suasana semakin memanas, mendekati Elang. "Kamu sekarang ke kamar," titahnya, menarik lengan Elang menjauh.

"Pembicaraan kita belum selesai!" sentak Tama, menghentikan pergerakan Rini. "Kamu jangan bela anak pembangkang ini!"

"Mas ...."

Elang tersenyum mengejek. "Iya aku memang anak pembangkang, kenapa sekarang Papi peduli?"

Rahang tegas Tama mengeras, urat-urat lehernya terlihat jelas manahan ledakan amarah. "Kau semakin kurang ajar, ya! Seharusnya kau mencontoh adekmu, bukan jadi berandalan seperti ini!"

Senyum Elang seketika luntur, membalas tatapan tajam Tama membara. Tidak terima dibanding-bandingkan. "Aku bukan dia! Jangan samakan aku dengannya, dan satu lagi, aku bukan kakaknya."

Plak

Tamparan keras tama membekas merah di pipi kiri Elang. "Kau sadar apa yang kau katakan?"

"Mas, udah!" lerai Rini. Mengusap pipi Elang yang kena tamparan. "Nak, sekarang kita ke kamar, ya? Jangan dengarkan perkataan Papi," bujuknya.

"Dia harus disadarkan, Rini!" sela Tama.

Elang melepaskan pegangan Rini, beralih bersitatap dengan Tama. "Apanya yang disadarkan? Memang betul kan, anak tersayang Papi itu bukan adekku. Semenjak dia datang, rumah ini tidak pernah tenang. Dan sekarang, dia pergi pun tetap meninggalkan masalah."

"ELANG!" Tangan kanan Tama mengambang di udara, siap meluncurkan tamparan.

"Tampar-tampar!" ucap Elang menantang, mencondongkan wajahnya ke Tama.

Tama terdiam. Menurunkan tangan, sadar bermain tangan, bukan ini dia inginkan.

"Kenapa diam? Ayok pukul lagi, biar anak pembangkang ini mendapat pelajaran!" Elang menarik tangan Tama, mengarahkan ke pipinya.

Tama menggegelang, bergerak cepat memeluk Elang. "Maafkan Papi, Nak."

Elang memberontak brutal, minta dilepaskan. "Papi jahat! Papi lebih sayang ... hiks anak itu dibandingkan aku anak kandungmu!"

Tama semakin erat memeluk Elang. "Enggak, Kakak juga kesayangan Papi."

Elang melepaskan sekuat tenaga pelukan Tama, menatapnya penuh luka. "Bohong! Dipikiran Papi cuma Adek-Adek! Papi nggak mau tahu perasaanku!" Berlari cepat keluar, mengendarai motor yang diparkir di teras.

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang