Raga dan Jiwa Lelah

595 58 3
                                    

Ada banyak rencana manusia jauh dari kenyataan, mematahkan harapan dengan realita yang ada, menghancurkan kebahagiaan belum terajut sempurna, mengkusutkan pikiran menginginkan ketenangan.

Tak ada yang bisa dilakukan selain mengiba kepada Tuhan, meminta keinginan dikabulkan di tengah kelamnya semesta.

Tuhan tersenyum melihat usaha manusia menggapai ridho-Nya, membiarkan doa menggema di penjuru langit tanpa batas, menikmati ketulusan dari hamba yang dinantikan.

Fahri mendekati dinding tembus pandang di depannya, melihat sang buah hati yang berjuang di dalam.

Beberapa jam yang lalu, kondisi Dande menurun drastis. Demamnya semakin meninggi membuat tubuh ringkih itu kejang-kejang hebat. Tidak hanya itu saja, Dande mengalami henti napas yang sebelumnya paru-paru barunya mulai membaik. Dande langsung dipindahkan ke ruangan ICU.

Reza kembali memasangkan alat-alat medis itu di tubuh kurus itu, dan kembali melakukan pemeriksaan menyeluruh terutama pada paru-parunya Dande. Untuk antisapasi keadaannya.

Diana yang berada di dalam, tak henti-hentinya memberikan kata-kata penenang, mencium sayang tangan rapuh itu. Ia tak pernah beranjak dari tempat duduknya semenjak ia diperbolehkan masuk.

Selang ventilator kembali dimasukkan ke dalam mulut kecil si bungsu, membuat siapa saja yang melihatnya tak kuasa menahan tangis.

Tensi meter terpasang apik di lengan kanannya, juga kabel warna-warni menghiasi tubuh yang hanya di tutupi kain tipis itu. Oxymeter pun tak pernah lepas semenjak Dande dilarikan ke rumah sakit. Diana terus berdoa agar kondisi anaknya membaik.

Reza yang sedari tadi mendampingi Diana, terus memantau kondisi keponakan kecilnya itu. Semenjak pemeriksaan CT-scan satu jam yang lalu, membuat berbagai prasangka menyudutkan pikirannya. Sekarang Ia tinggal menunggu hasilnya, semoga Tuhan tidak menambah sakit kesyangan mereka.

Reza memilih keluar, membiarkan Diana di dalam bersama beberapa suster yang berjaga. Sesampainya di luar, ia langsung diserbu pertanyaan dari Fahri.

“Bagaimana keadaan Adek, Za?” tanya Fahri kalut. Ia belum tahu keadaan anak bungsunya semenjak dipindahkan ke ruangan ICU."
  
“Saat ini keadaan adek belum stabil. Ada masalah pada paru-paru baru Adek, yang membuat kondisi Adek semakin drop. Tapi belum bisa memastikan pasti apa penyebabnya, kita tunggu hasil CT-scan-nya untuk tahu pasti penyebabnya.”

Fahri melemas mendengarnya. “Kenapa bisa?! Kita sudah mengganti paru-paru Adek dengan yang baru, kan? Tapi penyakit itu masih menyakiti putraku.”

Reza menatap sendu abang iparnya. “Kita hanya bisa berdoa, semoga hasil CT-scan-nya baik.”

Beberapa hari kemudian berlalu dengan penuh kesedihan.

Dande sudah sadarkan diri, tapi belum bisa dipindahkan dari ruang ICU.  Saturitasi oksigennya masih bergantung kepada ventilator, karena paru-parunya belum mampu bernapas dengan sendirinya.

Tidak sekalipun mereka meninggalkan Dande sendirian di dalam ruangan mengerikan itu. Mereka tak kuasa melihat tatapan kosong Dande ketika mata itu terbuka, tidak ada respon kecuali saat suction penyodotan lendir yang menghalangi pernapasannya. Mulut kecil itu akan mengerang dengan napas tercekat.

“KHHHRRR  … KHHRRRRRR.”

Reza dengan hati-hati memasukkan selang kecil ke selang ventilator guna menyedot lendir yang menghalangi jalur napas.

Sungguh menyakitkan harus melakukan prosedur itu. Namun hanya itu jalan satu-satunya agar Dande bisa bernapas dengan lega.

Setelah melakukan prosedur itu, Reza mencium kening putih pucat itu, beralih mengucup kedua mata yang hanya memandang kosong ke atas.

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang