Fahri menggendong Dande ala koala, anak bungsunya itu tidak mau jauh darinya. Hampir seminggu kondisi psikis Dande tidak ada perkembangan, membuat mereka harus ekstra sabar menghadapi Dande yang tidak bisa ditebak. Berbagai cara mereka lakukan sampai-sampai mendatangkan dokter psikiater, namun belum ada perkembangan yang bisa membuatnya tenang.
Dande akan menangis saat ayahnya hilang dari pandangan, walaupun cuma sebentar. Bayang-bayang dimana dirinya disiksa dan ditolak kehadirannya, menyisahkan trauma mendalam. Setiap kali melihat keluarga angkatnya, tubuhnya langsung gemetaran dengan tangisan keras meminta maaf.
Fahri menghapus air mata Dande, menepuk pelan punggung kecil si bungsu memberikan kata-kata penenang. Tubuhnya terasa pegal menggendong Dande satu jam lebih lamanya, tapi masih bisa dia tahan, demi ketenangan Dande.
“Ayah ... hiks… Adek takut ... hiks .…” Isak tangis lirih di bibir tipis itu keluarkan, mengeratkan pegangan saat pelukan sang Ayah mulai renggang.
Fahri menghela napasnya lelah, membawanya duduk dalam pangkuan, menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
Anggota keluarga lain menatap iba kepada Fahri. Mau menggantikan tapi Dande menolaknya, hanya bisa memperhatikan Fahri yang tampak kelelahan.
”Sayang, udah jangan nangis terus, nanti sesak lagi kayak kemarin,” ucap Diana di sebelah Fahri, mengusap dada Dande.
Dande menggeleng lemah, menjatuhkan butiran bening membasahi pipi. “Nggak mau … hiks berhenti air matanya, Bun. Takut … hiks … mereka marah-marah sama Adek, pukul Adek … hiks … badan Adek sakit … hiks,” racaunya, meronta-ronta kesakitan.
“Hey, dengarkan Ayah, Nak. Lihat mata Ayah ….” Fahri mengunci mata Dande.
“Mereka nggak jahat, mereka sayang banget sama Adek,” lanjutnya, mencoba meyakinkan.Dande semakin terisak, menenggelamkan tubuh mungilnya ke dada bidang Fahri. “Tapi … hiks Adek takut, Papi ingin Adek mati … hiks … Mami benci Adek … Kakak Elang marah karena Adek merebut kebahagiaan.”
Fahri melepaskan pelukan Dande, tersenyum seraya berkata, “Nak, itu tidak seperti Adek pikirkan. Mereka malah sebaliknya, sayang banget sama Adek.”
Dande mendongak, menatap Fahri mencari kebohongan. “Benarkah?”
”Iya sayang, Adek tau? Siang malam mereka tunggu Adek bangun. Sampai-sampai Kakak Elang jatuh sakit. Masih nggak percaya kalau mereka sayang Adek, hmm?” sahut Diana.
Dande terdiam, mengingat waktu pertama kali membuka mata. Wajah keluarganya kelihatan lelah, terlebih lagi Kakak Elang yang memakai pakaian rumah sakit, mirip yang dipakainya sekarang.
Tak lama setelah itu, pintu rawat Dande dibuka sedikit oleh seseorang dari luar. Menyembulkan kepalanya, memperhatikan situasi sekitar. Suasana memang dalam keadaan hening, sangat terdengar jelas decitan pintu didorong lambat. Membuat Atensi mereka teralihkan, melihat arah suara.
”Elang,” ujar Mahen yang duduk di singel sofa.
Elang cengengesan merasa malu diperhatikan. Matanya langsung terfokus kearah Dande yang tampak gelisah.
”Masuklah, Lang,” pinta Alex.
Dengan ragu, Elang masuk ke dalam sambil memegang rantang makanan yang berisikan bubur kesukaan Dande, buatan maminya. Setiap hari Elang membawa bubur untuk Dande, perintah maminya. Walaupun Elang memberikannya di waktu Dande dalam keadaan terlelap.
Elang berdiri agak jauh dari sofa, tersenyum hangat melihat Dande yang tampak tenang dari sebelumnya. Bukannya apa Elang menjaga jarak, teringat bagaimana respon Dande sewaktu mereka berusaha mendekatinya dan berakhir kondisinya menjadi drop.
“Adek … ini Mami buat bubur kesukaan Adek, dimakan, ya?” ucap Elang lembut. Memberikan rantang kepada Diana.
Dande meremat erat baju Fahri, tubuhnya kembali gemetaran setiap kali berdekatan dengan Elang. Dande tidak mengerti dengan reaksi tubuhnya tidak bisa dikendalikan. Jujur, Dande rindu kedetannnya bersama Kakak Elang.
Ketika Elang akan melangkah keluar, ucapan lirih menghentikan pergerakannya, “jangan pergi.”
Elang tersenyum, berbalik cepat menghadap Dande. “Adek bilang apa?”
“Ka-kakak jangan pergi,” ucap Dande susah payah.
Tanpa pikir panjang Elang memeluk Dande tanpa ada penolakan. Bahagia, satu kata menggambarkan perasaan Elang.
”Adek … maaf ….”
Dande berusaha mati-matian menahan ketakutannya, tangannya bergetar membalas pelukan Elang. Tidak membutuhkan waktu lama, rasa ketidakyamanan itu perlahan digantikan kehangatan sang Kakak.
”Nggak … hiks seharusnya Adek yang minta maaf … hiks … gara-gara Adek … semuanya hancur, adek pembawa sial!”
Dande menangis keras di pelukan Elang.”Adek nggak boleh ngomong gitu,” sela dua orang serempak diambang pintu, masuk ke dalam, berjongkok di depan Dande.
Dande melepaskan pelukan Elang, mata mereka saling beradu pandang memancarkan penyesalan. Fahri yang mengerti keadaan, mendudukkan diri di sofa sebelah Diana.
”Mami, Papi … hiks.” Dande menunduk, tidak berani mengangkat wajah.
Tama dan Rini menarik kedua sudut bibir mereka ke atas, rasanya lega dengan respon Dande tidak seperti sebelumnya. Awalnya mereka terkejut, tiba-tiba Fahri mengirim pesan agar cepat datang keruang rawat Dande. Mereka khawatir setengah mati karena Fahri tidak menjelaskan apa maksudnya, ternyata sosok yang mereka tunggu-tunggu menerima kehadiran mereka mulai membuka ruang untuk mereka.
Tama dan Rini berlutut, memegang tangan Dande dengan hati-hati. “Maafkan kami yang bodoh ini.”
Dande menggeleng, menarik tangannya cepat. “Adek yang salah hadir di tengah kalian … hiks. Tapi … Adek juga nggak mau jadi pembawa sial, penghancur kebahagiaan kalian, Adek nggak mau seperti yang kalian bilang! Adek hanya ingin hidup bahagia bersama kalian!”
Seketika hati mereka mencolos mendengar keluh kesah Dande. untuk pertama kalinya keinginan Dande dilontarkan. Sesederhana itu, namun merekalah yang mengubur harapan Dande.Rini dan Tama memeluk tubuh kurus itu. Mereka sadar, anak yang selama ini mereka korbankan adalah anak yang begitu berharga untuk disakiti. Bertahun-tahun mereka habiskan demi keegoisan, tidak sadar menggiring mereka kejalan kesengsaraan.
”Adek bukan pembawa sial, Adek kesayangan kami,” Rini membelai rambut halus Dande.
”Ya, Adek kesayangan semua orang, permata keluarga Dirgantara dan Erlangga,” sambung Tama tulus, membuat tangis bahagia Dande pecah.
Kini, penantian Dande selama ini berbuah manis. Harapan yang dia gantungkan setinggi langit terombang-ambing terjangan angin, bertahan menerangi perjalanan takdirnya, hingga mengantarkan kebahagiaan sesungguhnya.
Anggota keluarga lain menitikkan air mata, menyaksikan mereka. Beban-beban yang dipikul perlahan berkurang dengan lembaran baru meninggalkan ukiran kenangan masa lalu. Tinggal menunggu ukiran baru, menggores lika-liku garis kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion || Last Destiny [TERBIT]
Teen FictionPart Lengkap+sudah dibuku kan, bisa dipesan melalui Shopee Firaz Media Takdir Sesungguhnya telah datang, membawa luka baru penambahan luka yang lalu. Menggores asa yang dia punya, mengikis hubungan yang jauh dari kata sempurna. Dia dengan dunia ke...