Disebalik Tabir Kata

2.5K 263 50
                                    

Cuaca cukup bagus untuk sekedar beraktivitas di luar ruangan, sekumpulan anak-anak berpakain khas pasien rumah sakit menghabiskan waktu bermain dibawah pohon rindang yang meneduhkan.

Dande yang melihat mereka dari atas gedung serba putih, tak mampu menarik perhatiannya. Raganya memang di sana, tapi pikirannya berkelana, mencari jawaban pertanyaan bersarang diotak kecilnya.

Semenjak papi Tama memberinya harapan menyempurnakan kebahagiaan, dengan menjanjikan Mami Rini datang menjenguknya. Lagi dan lagi hanya omong kosong belaka yang dia terima. Nyatanya, Papi Tama selalu datang sendirian dengan berbagai alasan. Dande masih sabar menunggu walaupun seminggu berlalu, menikmati titik semu.

Diana dan Fahri saling beradu pandang, memperhatikan bungsu kesayangan mereka sering melamun, entah apa membuatnya tampak muram. Si Bungsu belum sepenuhnya terbuka, butuh waktu menyesuaikan diri setelah lama berpisah. Mereka paham itu.

Diana duduk di bibir ranjang pesakitan, mengusap surai hitam Dande. "Adek."

Suara lembut sang Bunda membuyarkan lamunan Dande. Baru sadar, bahwa ia tidak sendirian. Dua sosok berharga di dekatnya menatap penuh cinta kasih sayang, seolah cuma dirinyalah berharga di kehidupan semesta. Timbul rasa bersalah, melupakan orang yang telah membuatnya hadir ke atas dunia.

"Maaf ...."

Fahri yang berdiri di samping Diana, merendahkan tinggi tubuhnya, lalu memegang kedua pipi tirus Dande. Andaikan lebih berisi, pasti Fahri mengunyel-unyel dan menggigitnya.

"Kenapa minta maaf? Adek nggak salah apa-apa kok."

CUP

CUP


CUP

Ciuman bertubi-tubi Fahri daratkan ke wajah bulat Dande. Sungguh candu, bila sehari saja bibir Fahri tidak menyapa wajah menggemaskan anaknya ini.

Dande yang diperlakukan seperti itu, kegelian bersentuhan jambang ayahnya.

"Ayah udah, geli ... ha ha ... uhuk ...."

"Ya Allah Dek, Adek nggak apa-apa sayang?" panik Diana. Menyaksikan batuk Dande tak kunjung reda, belum lagi tarikan nafasnya melambat.

Sontak Fahri langsung terhenti, begitu bodoh membuat sesak si Bungsu kambuh. ketika Fahri ingin keluar ruangan memanggil Dokter saking kalutnya, hingga terlupa tombol merah diatas brangkar, bisa memudahkan memanggil perawat disaat genting. Namun pergerakkannya terhenti saat tangan mungil Dande memegangnya.

"Jangan ... uhuk ...." ucap Dande susah payah, takut disuntik. Bisanya, Dokter entah itu Kakak Faro atau Papa Reza datang memeriksa, pasti tubuhnya ditusuk-tusuk jarum tajam.

Fahri terpaksa mengurungkan niatnya, tak tega nada memelas si Bungsu. Kembali mendekati Dande, membetulkan letak nasal cannula yang hampir keluar dari lubang hidung mancung Dande. "Maaf, ya, Nak? gara-gara Ayah, dada Adek sesak."

Diana mengusap dada bertulang yang dibalut daging tipis itu, dapat dia rasakan, bagaimana sesaknya putra bungsunya menarik napas.

Dande memaksakan untuk tersenyum, menyembunyikan sakit agar tidak terlihat jelas. "Nggak papa, Yah, udah nggak sesak lagi diusap Bunda."

"Jangan ditahan sayang, bilang kalau memang sakit. Kami ada disini siap menampung keluh kesah Adek," ujar Diana.

"Ayah dan Bunda, adalah orang Tua Adek. Jadi semua yang berhubungan dengan Adek kami berhak mengetahuinya," timpal Fahri.

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang