Luka Pengiring Dendam

669 53 10
                                    

Tuhan tidak pernah salah menempatkan takdir manusia, memberikan kehidupan yang telah ditentukan, menetapkan nasib jauh yang diinginkan.

Suka dan duka saling berganti melengkapi kehidupan, menjalankan ketetapan garis semesta.

Tak ada yang bisa menyangkal keputusan Tuhan, semua telah digambarkan jauh sebelum manusia merangkai harapan.

Manusia hanya tahu menerima kebahagiaan, setelah berganti dengan duka keterpaksaan menjadi jalan perdamaian.

Hidup tidak hanya tentang penerimaan, melainkan juga tentang keikhlasan. Namun tidak semua orang paham akan itu.

Masalalu tetap mengikuti masa depan sebagai pembelajaran manusia.

Manusia tetaplah manusia, lahir membawa luka dalam hidupnya. Hingga hati yang dipaksa kuat, memberontak menyalahkan ketidakadilan.

Elang tak bisa menerima keadaan, karena banyak yang harus dipaksakan. Rumahnya tak sebahagia dulu, membuat keinginannya terjebak masalalu, masa keluarganya lengkap tanpa kekurangan.

Sekuat apapun Elang mengembalikan kebahagiaanya dulu, tidak akan bisa mengembalikan papinya yang telah mendahului.

Gundukan tanah masih basah, dan Mami berani membawa laki-laki yang tak dikenal ke kamar Papi, seakan kenangan Papi semasa hidup tidak dihargai.

Elang memberontak ketika laki-laki asing membawa mami ke dalam kamar, dan tanpa malu bercumbu di depan matanya.

Rini benar-benar berubah semenjak meninggalnya Tama, mencari kesenangan demi menutupi kesedihannya, bermain-main dengan laki-laki lain demi mencari sosok pengganti suaminya. Sementara Elang menyaksikannya, semakin terluka.

Seperti sekarang, Rini berjalan sempoyongan dipapah oleh laki-laki asing yang ia kenal di club malam, membawanya ke rumah tanpa mengingat Elang yang berada di sana.

“STOP!” teriak Elang di depan pintu, menghadang Rini yang ingin masuk ke dalam bersama ke kasih barunya.

Elang menarik kasar Rini dari laki-laki dewasa yang merangkulnya tanpa segan, tidak peduli penolakan maminya itu.

“Kamu apa-apaan, hah?!” sentak Rini, menatap tajam anak semata wayangnya.

Elang menggelengkan kepalanya, bersama jatuhnya air mata. “Mami yang apa-apaan! Laki-laki mana lagi yang Mami bawa? Mami dengan teganya membawa laki-laki lain ke kamar. Mami lupa, ya, itu juga kamar Pipi.”

Rini memalingkan muka, setiap kali Elang membahas Tama, membuat hatinya semakin sesak. Tidak sekalipun ia melupakan Tama, sekalipun ia memulai hubungan dengan banyak lelaki.

“Hari ini kita sudahi, silahkan pergi,” ucap Rini ke laki-laki yang bersamanya.

Laki-laki itu tampak tak senang, mengerutkan keningnya menatap Rini . “Ayolah sayang, jika kamu tidak nyaman di kamar itu, kita bisa pergi ke hotel,” tawarnya.

Elang mengepalkan tangannya, laki-laki itu sungguh tidak berperasaan. Menarik kerahnya, menatap tajam menghunuskan kemarahan. “Apa lo bilang?! Lo pikir Mami gue murahan! Pergi nggak!” Elang mendorongnya kasar. Namun laki-laki itu tidak mau kalah, terjadilah saling dorong-mendorong, sampai perkelahian tidak bisa dielakkan.

Rini berusaha melerai, melihat Elang yang sudah babak belur dihajar laki-laki yang ia bawa. “Hentikan Bram! Anakku bisa mati!”

Laki-laki yang dipanggil Bram melepaskan Elang, menjatuhkannya kasar ke lantai. “Ajarkan anakmu sopan santun!”

Elang berdecih, meludah di sepatu Bram tanpa takut. “Emang lo siapa, sampai gue harus menghormati lo?”

Bram tersenyum remeh. “Kau tidak perlu tau anak kecil, yang pasti kebahagiaan keluargamu di tanganku.  Beralih menatap Rini mempelototinya. “Iyakan, sayang?” tanya penuh penekanan.

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang