Merengkuh Luka

1.9K 183 12
                                    

Di bawah sinar rembulan, dibungkus dinginnya malam, menatap langit diselimuti kegelapan, menahan isakan tak tertahan kan.

Mata itu terus mengeluarkan liquid bening membasahi pipi, merah dan bengkak menggurat raut muka kesedihan. Dua jam Elang tetap di posisi yang sama, bersandar di kursi taman rumah sakit.

Ingatan masa lalu menariknya ke dalam ingatan suka duka. Masa dimana arti persaudaraan dirajut dengan kasih sayang, berbagi keluh kesah, membuai rasa dibalut hangat, menguatkan dua hati yang sama.

Namun, semuanya perlahan memudar karena titik hitam membekas di satu hati yang rapuh. Menumbuhkan rasa iri berlandaskan keegoisan, hingga puncaknya kebencian menjungkirbalikkan kenyataan.

Elang terlalu bodoh memahami itu. Dia hanyalah anak yang tumbuh dengan limpahan kasih sayang, di nomor satukan dan segala diinginkan terkabulkan tanpa ada kata kecuali.

Tapi, semuanya mulai berubah. Anak kecil yang dibawa papinya 16 tahun yang lalu, membagi kasih sayang yang Elang punya.

Elang akui sebelum Dande datang ke kehidupannya merasa kesepian. Selalu mendambakan sosok kecil yang akan menjadi teman bermainnya, berbagi tempat tidur, makan sepiring berdua, kejar-kejaran, dan masih banyak lagi keinginan si kecil Elang.

Kata orang, semakin banyak berdoa meminta keinginan kepada sang Pencipta dan berusaha mendapatkannya, maka tidak ada kata mustahil mendapatkannya.

Benar saja, tepat di hari ulang tahunnya yang keenam, papinya membawa kado yang sangat Elang inginkan, seorang Adik. Elang benar-benar bersyukur doanya terkabulkan, jatuh hati melihat tatapan polos yang menggemaskan. Semenjak saat itu Elang berjanji akan melindungi adiknya dari kejamnya dunia.

Satu persatu kebahagiaan Elang hancur berantakan. Pertengkaran dan pertengkaran memenuhi ruangan, hubungan hangat menjadi dingin oleh satu nama yang menciptakan keretakan keluarga, Dande.

Disaat semuanya terungkap, Elang dijatuhkan begitu dalam. Sosok yang dijaga sepenuh hati harus menanggung derita akibat keegoisan semesta, dan bodohnya Elang menambah luka baru Dande.

Kini, penyesalan tidak akan mampu mengambalikan jiwa yang lelah. Perkataan Dokter beberapa jam lalu menghantam keras dinding keegoisan yang mulai rapuh, mencerai-beraikan harapan, meluluh lantakan semangat dua keluarga.

Didalam bangunan putih sana, adiknya berjuang melawan maut. Elang tidak akan pernah sanggup melihat titik terendah sang Adik. Andaikan ia tidak memilih jalan keegoisan dan memendam rasa iri, pasti semuanya ini tidak terjadi, kan?

"Arrrggghhh."

Elang berteriak frustasi, meluapkan sesak. Punggungnya bergetar, air matanya mengalir deras membentuk aliran sungai.

Tiba-tiba tubuh Elang ditarik ke dalam pelukan, mengusap lembut memberikan ketenangan. Hangat dan nyaman menjalar ke hatinya.

"Lang ... jangan kayak gini, gue nggak suka lihat lo kayak gini."

Suara serak-serak basah terdengar lirih di pendengaran Elang, dia Faisal.

"Gue harus apa? Adek gue ... hiks ... adek gue ... hiks ... gue nggak sanggup kehilangan Adek." Tangis Elang memecah kehinangan malam.

Faisal menggelang cepat. "Adek nggak akan ninggalin kita, Adek kuat, pasti dia kembali tersenyum kepada kita."

Elang melepaskan pelukan Faisal secara pihak, menatap sayu sahabatnya ini. "Sal, gue harus apa? Apa gue donorin aja paru-paru gue?"

"Lo ngomong apa bangsat?!"

Elang menoleh ketika mendengar jawaban orang di samping, ternyata Dito sedari tadi di sebelahnya.

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang