Penyesalan dan Ketakutan

2.1K 214 28
                                    

Elang duduk sendirian di taman. Memandang ribuan bintang yang menemani bulan, mengalirkan lelehan bening di pipinya.

Bekas tamparan masih terasa sakit, namun belum seberapa dengan hatinya. Bentakan dan hinaan dari sang Papi memenuhi isi pikiran, tanpa memberikannya sedikit ruang untuk tenang.

Semenjak Dande hadir, tak pernah sekalipun kenyamanan menyelimuti keluarganya. Rumah yang seharusnya tempat ternyaman untuk pulang, menjadi ajang melepaskan amarah.

Takdir suka bercanda, ya. Mempermainkan kehidupan keluarga bahagia, merenggangkan hubungan yang terajut indah.

“Masih keliaran aja loh di jam begini,” ucap seseorang tiba-tiba, duduk di sebelah Elang.

Elang mengalihkan pandangan ke sumber suara,  ternyata Mahen berdiri di sampingnya. “Suka-suka gue mau ngapain!” ucapnya ngegas, menghapus cepat air matanya.

Mahen terkekeh, sudah biasa mendapat respon Elang seperti ini. Ia sebenarnya mendapat informasi dari Gilang sahabatnya, bahwa Elang sedang duduk sendirian di taman kota. Tentu ia tidak menyiakan-nyiakan kesempatan karena ada hal penting ingin ia sampaikan.

“Santai Bro, sensi amat jadi laki, pakai acara nangis lagi. Nggak cocok banget dengan image lo yang bad boy.

Elang mendengkus. “Lebih baik lo pergi, deh.”

“Enak aja, ini tempat umum kalau lo lupa. Siapa saja berhak duduk di sini.”

Elang diam, malas membalas ucapan Mahen. Duduk bersandar menengadah ke atas, kembali menikmati hamparan bintang dan bulan.

“Lo kayak anak kecil tau nggak,” ujar Mahen.

Elang langsung menegakkan badannya, menarik ujung baju atas Mahen dengan tatapan tajam. “Maksud lo apa?!”

Mahen tersenyum, melepaskan santai tarikan Elang. “Iya, lo kayak anak kecil, yang ingin semua perhatian tertuju pada lo. Tidak mau tahu dengan sekitarnya, yang penting keinginan lo terkabulkan.”

Elang melepaskan cengkramannnya sambil membuang muka. “Emang lo tau apa tentang hidup gue.”

“Karena gue tahu makanya gue bilang kayak gitu.”

“Ck, sok bijak lo. Urusin aja noh adek lo penyakitan itu."

Wajah Mahen berubah datar. ”Penyakitan lo bilang?”  

“Iya, dia cuma bisa buat orang susah,” decih Elang.

Tangan Mahen mengepal kuat. ”Lo benar-benar berubah, ya.”

Elang tersenyum remeh. “Asal lo tau aja, gue kayak gini gara dia! Segala yang berhubungan dengannya berimbas buruk ke gue. Papi nggak pernah lagi perhatiin gue, mansion gue selalu ribut jika membahas tentang Adek lo yang penyakitan itu. Dia enak-enakan hidup bahagia dengan keluarga kandungnya, sedangkan gue ….”

Bugh

Elang jatuh tersungkur menerima tinju Mahen.

“Cuma gara-gara itu, lo benci Adek! Lo pernah mikir nggak kehidupan Adek selama tinggal dengan kalian?!” murka Mahen membuat Elang bungkam.

“Selama belasan tahun dia harus bertahan dari siksaan keluarga lo itu! Apa pernah dia marah, hah?! Apa pernah dia menyuarakan keinginan mendapat kasih sayang?! Enggak, kan?!”

Mahen tertawa hambar memperhatikan Elang membisu. “Lo baru merasakan sedikit penderitaan Adek, lo nggak terima, kan? Apa kabar Adek yang selama belasan tahun menanggungnya sendirian, dan apa sekarang? Lo iri karena Adek  baru mendapatkan kebahagiaan. JAHAT TAU NGGAK, LO, EGOIS. Dimana hati nurani lo sebagai seorang Kakak, karena hanya kasih sayang dibagi dua, lo nggak mau menjadi nomor dua.”

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang