Kekhawatiran ditutupi Keegoisan

1K 134 10
                                    

Gerimis hujan mulai berjatuhan, membasahi sedikit demi sedikit tanah kering menggunung di tengah keluarga Erlangga. Salah satu mereka memeluk kayu nisan dengan terisak-isak, memanggil nama tak bertuan penyelamat hidupnya.

”Papi … hiks, Papi … hiks.”

Diana di sebelahnya, mengusap punggung kecil yang bergetar hebat. Memandang sendu si bungsu yang sedang kacau. Diana tidak pernah siap berada di situasi seperti ini, dan tak akan kuat menyaksikan betapa hancurnya anak kesayangannya.

”Adek, udah sayang. Papi udah bahagia di sana. Ikhlas, Nak.”

”Papi … hiks ninggalin Adek, Bun. Adek jahat ambil paru-paru Papi … hiks.”

Fahri yang berada di samping si bungsu, mengepalkan tangan menyalurkan rasa sesak di hati. Ia sudah menebak anak bungsunya akan seperti ini setelah mendengar siapa yang menjadi pendonor. Jauh dari lubuk hati terdalam, Fahri tidak rela mengorbankan sahabatnya, tetapi keadaanlah yang memaksa.

“Ini sudah suratan takdir, Nak. Kalaupun Papi Tama tidak mendonorkan paru-parunya, Papi tetap pergi ke sisi Tuhan,” ucap Fahri memberi pengertian.

”Enggak, Yah! Seharusnya Adek yang pergi.”

”Dande!” bentak Fahri. Marah mendengar ucapan mengoyak hatinya. Fahri tidak akan sanggup kehilangan anak bungsunya, dan tak akan bisa hidup tanpa malaikat kecilnya. Cukup sahabatnya yang pergi, jangan anaknya.

Fero yang di dekat Fahri, memegang bahu sang Ayah agar tidak kelepasan. Apa lagi adik kecilnya semakin menangis keras. Fero paham ayahnya tidak baik-baik saja semenjak kematian Tama, termasuk hubungan antara dua keluarga jauh dari kata bersahabat.

”Papi … hiks.”

Dande memeluk gundukan tanah yang basah, membiarkan baju rumah sakit yang masih melekat di tubuh kurusnya kotor oleh gumpalan tanah.

Sejauh ini, Dande tidak berharap lebih di dalam hidupnya. Tidak banyak menuntut apa yang diinginkannya, berusaha bersyukur dengan apa yang menjadi miliknya. Tak pernah terpikir mengambil ataupun merampas milik orang lain, karena ia tahu itu bukan haknya.

Namun tanpa disadari, Dande merampas kebahagiaan orang yang ia sayang. Menghancurkan semua harapan demi menyelamatkan tubuh rapuhnya. Meninggalkan luka tak kasat mata bagi yang ditinggalkan. Di bawah gundukan tanah ini, terkubur harapan kebahagiaannya.

Baru kemarin ia merasakan kebahagiaan lengkap, dan sekarang hilang tanpa sisa karena penyakit menggerogoti tubuh lemahnya. Andaikan ia tidak penyakitan, papinya tidak akan berkorban sebesar ini.

Dande beralih memegang dadanya, mengusap pelan bekas operasi garis memanjang. “Papi … Adek nggak mau menerimanya … hiks. Kalau Adek kembalikan paru-parunya, Papi hidup lagi, kan?”

Faro yang berdiri di sebelah Dande, langsung berjongkok mengguncang kedua bahu adiknya itu. ”Sadar, Dek! Biarkan Papi Tama tenang. Jangan kayak gini.”

Dande tertawa hambar dengan air mata meluncur deras. “Kak, Tuhan nggak adil sama aku … ha ha ha … hiks. Tuhan nggak rela lihat aku bahagia … hiks.”

Faro membawa Dande ke dalam pelukan. “Enggak sayang, Tuhan hanya ingin Papi Tama bahagia di sisi-Nya.”

”Tapi aku belum pernah membahagiakan Papi ... hiks, kenapa Tuhan mengambil Papi secepat ini … hiks.”

Fero memalingkan muka, tidak kuat mendengar keluh kesah adeknya. Tidak menyangka permain takdir akan serumit ini jadinya.

Suara langkah kaki menarik atensi mereka, berhenti tepat di depan mereka. Tubuh tegap dengan setelan baju serba hitam memegang sekeranjang bunga di tangan kanannya. Mata yang dulunya teduh berubah tajam dan dingin melihat orang-orang di sekitarnya.

Dande menggigit bibirnya dalam-dalam, bergetar dan berat membuka suara. “Ka-Kakak Elang … hiks.”

Orang itu berdecih, tidak suka mendengar Dande memanggilnya kakak. Dulu ia sangat menyukai panggilan itu, bahkan selalu memprioritaskan Dande di dalam hidupnya.

Tapi sekarang berubah, rasa marah dan benci yang sempat hadir, kembali menguasai hatinya. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana keluarganya hancur akibat Dande penyakitan.

”Puas lo udah buat Papi gue pergi?” pertanyaan Elang memurukkan Dande begitu dalam.

“Lang!” tegas Mahen memperingati.

Elang memutar matanya malas, mengencangkan pegangan keranjang bunga yang hampir remuk. ”Apa?! Memang benar, kan, gara-gara dia Papi gue meninggal!” tunjuknya ke arah Dande.

Dande menggelang kuat, berdiri menggapai Elang. Namun tepisan kuat yang ia dapatkan.

”Jangan sentuh gue! Lo pembawa sial tau nggak!”

Dande memundurkan langkahnya, mencengkram kepalanya dengan menggumamkan kata maaf. Ingatan masa lalu yang kelam kembali menusuk-nusuk pikirannya.

Diana, Faro dan Fero tentu tidak tinggal diam, menenangkan Dande berteriak ketakutan.

Mahen yang geram, mencengkram kerah baju Elang. “Jaga ucapan lo, Adek nggak tau apa-apa, Lang!”

Elang menyentak kasar tangan Mahen. “Apanya yang nggak tau! Semenjak dia datang di kehidupan gue, keluarga gue hancur berantakan! Dan lihatlah ….” Tunjuk elang ke kuburan di tengah mereka. “Papi gue meninggal gara-gara dia!” beralih menunjuk Dande di dekapan Faro.

Fahri sedari tadi menunduk tak berani menatap Elang, menegakkan tubuhnya, mendekati Elang yang dadanya naik turun menahan amarah. Lalu berlutut di hadapan Elang dengan rasa penyelasan mendalam. “Yang patut disalahkan disini, Om.  Jangan salahkan Adek. Adek hanya korban keegoisan Om, Elang.”

Elang membuang muka asal, tidak sudi memandang orang yang telah mengorbankan papinya. Tak lama kemudian, pertanyaan sarkas semakin mematik panas suasana.

“Ngapain kalian kesini?”

Rini berjalan angkuh mengikis jarak diantara mereka, pakaian serba hitam dipadukan kaca hitam selaras hati yang dirundung duka.

“Mami … hiks,” lirih Dande menyadari kedatangan ibu angkatnya.

“Saya bukan Mami kamu! Saya tidak punya anak pembunuh seperti kamu!” desis Rini. Matanya berkilat marah menghunuskan perkataan tajam.

Dande meraung-raung memohon maaf, dan tanpa disangka anak itu terkulai lemah dengan napas memberat, membuat mereka khawatir termasuk Elang. Perasaaan mereka khawatir luar biasa melihat Dande tidak merespon ucapan mereka dengan tatapan kosong. Berbeda dengan Rini, tidak merubah mimik datarnya.

Disaat Elang hendak mengikuti keluarga Erlangga menuju mobil, perkataan Rini menghentikan pergerakannya.

”Kamu masih peduli sama orang yang telah membunuh papimu? Pergilah, jika kamu memang tidak manyayangi mamimu lagi.”


TBC

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang