Dibalik indahnya semesta, ada ribuan luka siap menghancurkan kebahagiaan manusia. Membiarkan tawa melambung ke udara, lalu menjatuhkannya dengan air mata.
Jeritan ketidakinginan dibungkam oleh ketidakberdayaan, rangkaian harapan dipatahkan kenyataan. Tak ada yang bisa menentang keputusan Tuhan, karena jauh sebelum semesta mempermainkan kebahagiaan manusia, ketetapan Tuhan telah menyertai keinginan semesta.
Tidak bisa ditebak bagaimana kehidupan selanjutnya, banyak angan tak sesuai dengan keadaan, ribuan doa pun belum tentu Tuhan berikan, dan yang menjadi pasti kebahagiaan sejati hanya pada pulang kepangkuan-Nya.
Sebelum itu terjadi, cobaan silih berganti menggoyahkan kebahagiaan, membawa ketidakadilan demi memisahkan kasih sayang, melempar kesalahan agar bisa merenggangkan hubungan, tercerai berailah keharmonisan, dan keluarga hanyalah sebuah nama tanpa ada makna di dalamnya.
Dande hanya bisa memandang foto keluarga angkatnya, disana Dande berada dipangkuan papi Tama tesenyum cerah bersama kakak Elang, berbeda dengan mami Rini yang tampak memaksakan senyuman.
Dande masih ingat bagaimana papi Tama memaksa mami Rini untuk mau foto keluarga, sampai teriakan berseru lantang menolak Dande ada disana. Namun perkataan ajaib papi Tama bisa membuat mami Rini mau ikut bersama mereka, jadilah foto keluarga yang selalu Dande idamkan.
Namun keluarga yang telah membesarkan Dande telah hancur, papi Tama rela berkorban untuknya sampai kehilangan nyawa, kebahagiaan yang ditinggalkan tak akan pernah utuh, meninggalkan benci dan amarah, dan ketidakrelaan terus membayangi.
Kakak Elang tidak seperti dulu, biasanya kakak Elang selalu ada untuk Dande, berbagi kasih sayang, dan melindunginya. Namun setelah kepergian papi Tama, kakak Elang tidak ada kabarnya, tidak sekalipun panggilan telepon Dande diangkat, membuat Dande khawatir dengan keadaan kakak angkatnya itu.
Kata abang Mahen, kakak Elang sedang sibuk dengan tugas sekolah, tapi dulu sesibuk apapun kakak Elang pasti mengabarinya. Apa mungkin kakak Elang sedang menjahuinya?
Pernah diam-diam Dande menghubungi mami Rini menggunakan telepon genggam bunda Diana, bukannya jawaban ramah mami Rini katakan, caci maki dilontarkan, menyalahkan Dande telah membuat papi Tama meninggal, dan setelah itu panggilan diputus secara sepihak, bersamaan air mata terjun bebas.
Dande takut kalau kakak Elang juga menyalahkannya, dan membencinya seperti mami Rini. Tapi melihat respon kakak Elang sekarang yang selalu menolak panggilan teleponnya, membuat Dande gelisah.
Setelah sekian lama Dande istirahat semasa pemulihan, akhirnya Dande diperbolehkan sekolah. Sebenarnya Dande yang memaksa ingin sekolah dari pada home scholing, tidak ada teman belajarnya. Di sekolah ia bisa bertemu dengan kakak Elang, dan memastikan bagaimana keadaaannya sekarang, dengan berat hati keluarganya mengijinkannya.
Seragam sekolah yang telah lama tersimpan di lemari akhirnya kembali dipakai di tubuh kurus Dande, tersenyum ceria melihat rapi penampilannya, lalu mengambil tas di meja belajar, menyandangnya pergi ke ruang makan.
Disana seluruh anggota keluarga sudah menunggunya, menyapa hangat dan mulai sarapan.
“Adek jangan jauh-jauh, ya, dari Abang Mahen. Jangan makan sembarangan,” ucap Diana kepada anak bungsunya, menyuapi Dande dengan telaten.
Dande hanya mengangguk menjawab bundanya, membuat Fahri yang menggendongnya mencium Dande kegemasan.
Bagaimana tidak, anak bungsunya itu begitu menggemaskan mengunyah nasi goreng, pipi bulatnya semakin menggembung dengan bibir mungil sedikit maju kedepan. Kalau tidak mengingat Dande sedang makan, pasti Fahri sudah menggigit pipi mochi-nya itu, begitu juga dengan anggota keluarga lain.
Selesai sapan satu persatu dari mereka mulai pergi dengan kegiatan masing-masing, begitu juga dengan Dande dan Mahen yang dalam perjalanan ke sekolah, mereka diantar supir pribadi.
Tak lama dalam perjalanan, mobil yang mereka tumpangi sampai di depan gerbang sekolah. Dande dan Mahen turun, berjalan santai karena waktu masuk masih panjang.
Tak sengaja Dande melihat motor kakak Elang masuk area parkir, tersenyum melihat kakak Elang membuka helm full face yang dipakainya.
Dengan langkah cepat Dande mendekati kakak Elang, disusul Mahen berusaha menghentikannya.
“Adek, jangan lari!” Teriakan Mahen dihiraukan, Dande semakin jauh dari jangkauannya.
Dande yang terlalu semangat hampir saja kehilangan keseimbangannya, beruntung Elang refleks memegang tangan Dande. Mata mereka beradu, Dande memancarkan rindu, namun tatapan kakak Elang berbeda, hanya kebencian ia pancarkan, menghentak tangan Dande dengan kasar hingga tangan yang ia tahan jatuh terjerembab menghantam tanah.
Mahen melotot melihat sepupunya, bergerak cepat menghampirinya. “Adek nggak apa-apa? Sakit, ya?” Mahen mengecek tubuh Dande, dan melihat tangan kecil itu berdarah.
Dande mendongak melihat kakak Elang acuh tak acuh. Dande merasakan hentakan tangan itu, Dande berusaha menyangkalnya, tapi melihat ekspresi kakak Elang membenarkan perasaan Dande.
“Lo apa-apaan? Ini Adek lo, brengksek! Kalau nggak mau bantu, jangan kasar dong!” murka Mahen.
“Adek? Gue nggak punya Adek, gue anak tunggal. Pagi-pagi rusak mood gue aja, tangan gue kotor lagi,” ucap Elang dengan santai, memukul kedua telapak tangannya, seakan jijik memegang tangan Dande.
“Kakak ….” Belum sempat Dande mengatakan, bentakan Elang membungkam Dande.
“Gue bukan Kakak lo! Nggak sudi gue punya Adek pembunuh kayak lo! Lo tu pembawa sial! Keluarga gue hancur gara-gara lo sialan!” Mata Elang memerah, menatap nyalang melontarkan kebencian.
BUK
Mahen tanpa disangka langsung membogem mentah Elang. “Brengsek! Lo berubah, lo bukan Elang yang gue kenal! Lo tau? Adek matia-matian bisa sekolah, itu demi bisa lihat lo!”
Elang tertawa sumbang, melihat Dande yang mematung. “Mau lihat gue sengsara? Atau lo senang lihat gue hancur di depan lo?”
Dande menggeleng brutal, melengkah berat menggapai Elang. “Nggak Kak … Adek khawatir ….”
Elang melangkah mundur. “STOP! GUE BILANG STOP! JANGAN DEKATI GUE, APA NGGAK CUKUP LO BUNUH PAPI GUE? SEKARANG LO MAU APA LAGI?!”
Dande tersentak mendengar kakak Elang menolak mendekatinya, ketakutan Dande menjadi nyata kakak Elang benar-benar membencinya.
“Kakak … maaf … hiks.”
Elang membuang muka melihat Dande duduk bersimpuh di depannya, hatinya begitu sakit mengingat keluarga hancur hanya karena kehadiran Dande.
“Maaf lo nggak akan bisa hidupin Papi gue, maaf lo nggak akan bisa membuat keluarga gue seperti dulu, percuma, beribu pun maaf nggak akan bisa kembaliin kebahagiaan gue. Seandainya Papi nggak bawa lo ke mansion hari itu … keluarga gue pasti bahagia sampai saat ini. Jangan pernah dekati gue karena lo sumber masalah di hidup gue, dan gue benci itu. Anggap saja kita tak pernah saling mengenal, kita hanya orang asing,” jelas Elang walaupun sesak kian menyudutkannya. Melangkah lebar menjahui Dande yang terisak pilu.
Dande menepuk dadanya berungkali, dadanya sesak mendengar kakak Elang memutuskan hubungan yang sedari kecil terikat sayang, sekarang mereka hanyalah orang asing di mata kakak Elang.
Sementara Mahen tidak bisa berkata lagi, yang bisa Mahen lakukan memberikan Dande pelukan.
Semesta kembali bercanda kepada dua hubungan dua anak adam, mengikat hubungan dengan darah berbeda, mengikatnya, lalu menghentak kencang sampai dua hubungan itu terputus oleh keegoisan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion || Last Destiny [TERBIT]
Fiksi RemajaPart Lengkap+sudah dibuku kan, bisa dipesan melalui Shopee Firaz Media Takdir Sesungguhnya telah datang, membawa luka baru penambahan luka yang lalu. Menggores asa yang dia punya, mengikis hubungan yang jauh dari kata sempurna. Dia dengan dunia ke...