Sama-Sama Hancur

2K 208 15
                                    

Sinar matari mulai menyapa permukaan bumi, kicauan sepasang burung menyambut pagi cerah.
Mansion Erlangga nampak sibuk memulai hari, membersihkan diri sebelum beraktifitas sehari-hari.

Diana melangkahkan tungkainya ke kamar Dande. Semalam anaknya itu tidur sendirian, biasanya tidak sekalipun membiarkan anaknya sendirian. Tapi terpaksa mereka bolehkan karena diluluhkan raut muka memelas si bungsu.

Tangan lentik Diana memegang gagang pintu, masuk ke dalam. Ruangan bernuansa biru langit berpasangan putih mewarnai dinding. Seseorang yang terpejam lelap di kasur king size, berada di bawah alam sadar. Masih di posisi seperti semalam, tidak ada pergeseran sedikitpun membuat Diana merasakan kejanggalan.

Langkah Diana semakin dekat, memperjelas sosok kesayangan yang memucat dengan bibir membiru. Ditambah nassal canula tidak terpasang dihidung yang tak bernapas itu.

Diana membekap mulutnya, melihat tidak ada pergerakan dada Dande, meluncurkan deras air mata tanpa perintah.

”Adek … bangun ….”  Diana duduk di tepi kasur, menepuk pelan pipi pucat tanpa rona Dande. ”Adek … jangan bercanda … hiks bangun!”

Digoncang kuat tubuh Dande, Maninggikan suara berharap mendapat respon. Namun tetap sia-sia, Dande tetap hanyut dalam damai.

“MAS! ADEK, MAS! TOLONG … hiks anakku … hisk.” Diana berteriak lantang dengan tangis menjadi-jadi. Memangku kepala Dande yang terkulai lemah di pangkuannya.

Teriakan Diana mengundang anggota keluarga Erlangga lain, berbondong-bondong masuk ke dalam kamar. Terbelalak, menyaksikan Diana menangis histeris memangil kesayangan mereka yang tidak sadarkan diri.

Faro mengambil alih tubuh Dande, dibantu Fahri menenangkan Diana yang memberontak tidak mau dilepaskan. Faro dibuat kalang kabut melakukan pertolongan pertama karena tidak merasakan dada dan nadi sang Adek tidak bergerak. Melakukan CPR dan memberikan napas buatan. 

”Siapkan mobil! Adek butuh penanganan medis!” titah Faro disela-sela napas memburu, menekan dada Dande.

Anggota lain yang berusaha tenang, bergerak cepat menyiapkan mobil. Faro langsung menggendong Dande keluar, masuk ke mobil ditemani Fahri dan dan Diana. Sementara yang Fero dan Mahen di mobil lain. Mobil mereka berpacu dengan nyawa yang dipertahankan matia-matian.

Beberapa menit perjalanan. akhirnya mereka sampai di rumah sakit Erlangga. brangkar Dande melesat cepat membelah lorong rumah sakit. Faro tidak kenal lelah melakukan CPR walaupun peluh bercucuran mempertahankan kesayangan mereka.

Tangis keluarga Erlangga mengiri brangkar yang didorong secepat mungkin, menarik perhatian pengunjung maupun para pekerja rumah sakit. Menimbulkan pertanyaan, siapa yang membuat keluarga pemilik  rumah sakit ini begitu kacau?

Hingga, brangkar itu ditelan pintu IGD. Menyisahkan raungan Diana memukul pintu yang telah ditutup rapat. Fahri menghentikan sang istri yang hilang kendali, memeluknya erat, menyalurkan penenang walaupun hatinya juga tidak tenang.

Semuanya berantakan akibat kelalaian mereka menjaga si bungsu. Seharusnya, mereka tidak mengiyakan permintaan Dande semalam. Dan sekarang menjadi petaka memporak-porandakan perasaan mereka.

”Adek, Mas! Hiks … anakku tidak bernapas … hiks … Adek jangan tinggalkan Bunda!” racau Diana.

Fahri mengusap lembut punggung Diana bergetar. “Adek kuat, Adek nggak akan meninggalin kita.”

Suara langkah cepat mendekati mereka. Terlihat Tama, Rini dan Elang tak kalah berantakan.

”Mana Adek? Baik-baik aja, kan?” tanya Tama dengan mata memerah, menjatuhkan genangan air mata.

Fahri melepaskan pelukan, menatap Tama nyalang. ”Disaat Adek udah sekarat, lo baru datang? Kemarin kemana aja, hah?!”

”Maaf ….” lirih Tama.

Fahri menarik kasar kerah baju Tama, marah terhadap sikap sahabatnya ini tidak menepati janji semalam. Namun teralihkan, ketika indra penciumannya mengendus bau alkohol yang menyeruak di tubuh Tama.

”Lo semalam mabuk?” dijawab anggukan Tama.

Bugh

Bogeman mentah Fahri layangkan, menghantam rahang tegas Tama.

”Brengsek! Asal lo tahu, Adek sampai tengah malam nungguin lo! Apa jangan-jangan lo yang ngomong yang tidak-tidak hingga buat Adek murung?!” tanyanya. Menduga perubahan anak bungsunya kemarin karena Tama.

Sekali lagi tama mengangguk berat. ”Gue memang brengsek! Nggak seharusnya bilang itu sama Adek! Maafin Papi, Dek,” ucapnya menatap pintu IGD.

”Lo ….”

Tangan Fahri yang awalnya akan melayangkan pukulan, terhenti dihadang Elang. Berlutut didepannya dengan menyatukan kedua tangan.

”Ini bukan salah Papi … hiks … ini salah aku Om, aku yang bikin Papi kayak gitu dan aku juga bentak Adek! Salah kan aku … hiks … aku kakak yang jahat … hiks.”

Fahri menghembuskan napasnya kasar, membelokkan pukulan ke dinding. ”Kenapa harus Adek?!”

Tama menarik Elang ke dalam pelukan, menyalahkan diri mereka akibat jalan keegoisan yang dipilih. 

Sedangkan Rini menangis dalam diam, baru kali ini dia merasakan takut kehilangan. Rasa benci dan penolakan ia biarkan tumbuh menutupi rasa sayang, hingga mengorbankan anak yang tak bersalah

Tiga jam berlalu. Pintu yang ditunggu-tunggu di buka Faro. 

“Bagaimana keadaan Adek, Kak?” tanya Diana.

Air mata Faro kembali jatuh. “Kita hanya bisa berdoa ….”

”Maksud Kakak, apa?! Semuanya baik-baik aja kan?” tanya Fahri menepis pikirin buruk.

Faro menggeleng. ”Adek terlambat ditangani. Adek henti napas dalam waktu terbilang lama membuat pasokan oksigen ke otak terhenti … dan tadi … tiba-tiba jantung Adek berhenti berdetak … kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua tergantung pada Adek, bertahan atau ….” Faro menghembuskan napas, membuang sesak sebelum melanjutkan. “Menyerah.”

Pecah sudah tangis mereka. Bukan berita ini ingin mereka dengar. Mereka sama-sama dihancurkan oleh satu orang kesayangan mereka. Rasa takut kehilangan di depan mata, menancapkan serpihan luka tak kasat mata dan memutuskan rangkaian kebahagiaan menjadi gantungan pengandaian.

TBC



 

  

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang