Mencoba Menerima

1.2K 121 12
                                    

Setiap manusia mempunyai kehidupannya masing-masing. Tidak ada yang sama dalam menjalani takdirnya, akan selalu berbeda bagi yang menjalani.

Banyak pertentangan ketetapan Tuhan terhadap keinginan hamba-Nya. Menguji jiwa dan raga yang ditempatkan, hingga takdir berbicara menetapkan keputusan.

Tuhan selalu menetapkan yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak sekalipun membebani hamba-Nya, melainkan memberikan pembelajaran dari kerasnya dunia ini.

Semesta pun ikut menjalankan roda-roda kehidupan. Silih berganti mengubah keadaan, dan pada akhirnya rencana Tuhan terwujudkan.

Memang tidak semuanya tentang kebahagiaan, ada duka diciptakan oleh luka. Menggores asa yang dipunya, mengoyak hubungan yang jauh dari kata sempurna.

Fahri benar-benar diuji akan hal itu. Di dalam hidupnya, ia selalu dihadapkan dua pilihan, dan berakhir pengorban demi mewujudkan keinginan.

Sekarang, permasalan bertambah rumit. Hubungan dua keluarga yang dulunya terikat baik, putus karena keegoisannya mengorbankan sang sahabat demi menyelamatkan anak kesayangannya.

Tidak hanya itu, anak yang berusaha ia pertahankan semakin terpuruk setelah mengetahui pengorbanan Tama, orang yang telah mengorbankan kehidupannya demi sang anak.

Fahri merasa gagal menjadi orang tua sekaligus sahabat. Ia tidak bisa membuat keadaannya membaik dengan kebencian keluarga almarhum sahabatnya.

Fahri tidak bisa berbuat apa-apa menyaksikan putus asanya Dande mengetahui orang yang mendonorkan paru-paru untuknya adalah papinya sendiri, Tama.

Tak ada gairah di dalam hidup Dande, menatap kosong ke depan, menangis menggumamkan kata maaf. Tidak ada respon setiap kali keluarganya mengajaknya berbicara.

Tepat Dande jatuh tidak sadarkan diri di peristirahatan terakhir Tama, semangat hidupnya serasa ditarik paksa, membuat keluarga Erlangga tidak tega melihat anak itu hanya diam tanpa mau merespon orang-orang sekitarnya. Bahkan makanpun harus menggunakan selang NGT karena kurangnya nutrisi yang masuk ke dalam tubuh kurus itu.

Diana tetap setia di samping si bungsu yang semakin memprihatinkan. Memeluk hangat tubuh yang mengurus sembari terus mengajaknya berbicara walaupun hening menjawab.

Diana tidak tega memperhatikan anaknya bagai raga tanpa jiwa. Kosong dan tak ada binar di dalamnya. Fahri duduk di sofa yang tak jauh dari brangkar memalingkan muka, tidak kuat melihat anaknya. 

Hati mereka diremas kuat saat Psikiater mendiagnosa Dande depresi dan bisa lebih serius jika tidak ada perkembangan keadaannya.

Pernah satu kali, Dande hampir berhasil melakukan aksi bunuh diri jika saja mereka terlambat sedikit saja.

Semenjak saat itu mereka tidak membiarkan Dande sendirian, apa lagi keadaannya masih perlu dipantau Dokter setelah operasi satu minggu yang lalu.

Diana tersenyum sendu mengusap surai lepek Dande, mengecup sayang puncak kepala Dande yang mulai terlelap.
Fahri melangkah mendekati brangkar, duduk di tepi ranjang sambil membetulkan nasal cannula yang sedikit bergeser. Lalu tangannya turun menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Dande.

Sedikit lega melihat Dande bisa tidur. Beberapi hari belakangan jam tidur mereka berantakan, menjaga Dande yang hanya tidur beberapa jam saja, selebihnya ia diam menatap ke depan.

“Adek kuat, jagoan Ayah pasti bisa melewati ini.” Fahri menyibakan rambut yang menutupi kening Dande, menciumnya lama dengan penuh kasih sayang.

Tangannya beralih menyentuh dada Dande yang terdapat bekas jahitan memanjang. Mengusapnya pelan, merasakan tarikan napas teratur anak kesayangannya. ”Di sini … Papi Tama selalu bersama Adek, dan tidak akan pernah meninggalkan Adek.”

Fahri tertunduk, air matanya jatuh bersamaan tangannya tidak mampu bertahan lama menyentuh bekas operasi di dada anaknya. Lagi-lagi penyesalan memukulnya telak.
Diana menitikkan air mata, melihat rapuhnya Fahri untuk berusaha tegar.

”Mas ….” Diana memegang bahu Fahri yang turun.

Dulu, tubuh itu selalu tegap di segala situasi, menjunjung tinggi wibawa yang Fahri pancarkan, tetapi bahu kokoh itu seakan runtuh dengan kepergian Tama.

Tanpa mereka sadari, Dande mendengar dalam pejamnya. Ia tidak benar-benar tidur, melainkan terlampau lelah menatap dunia yang tidak memberikannya keadilan.

”Lelah … ingin ikut Papi.” lirih Dande, membuka matanya kembali.

Fahri langsung mendongak ketika mendengar anaknya berbicara, tapi hatinya semakin sesak melihat tatapan luka Dande. ”Ayah tahu ini berat, tapi … Adek nggak boleh ikut Papi.” Fahri mengangkat tangan kanannya, menyentuh dada Dande. ”Papi Tama percaya Adek itu kuat, makanya Papi titipkan ini.”

Dande membalas tatapan Fahri dengan derai air mata. “Yah … hiks …  Adek serakah, ya, mengambil paru-paru Papi?"

Fahri menggeleng, memaksakan senyuman meyakinkan Dande. ”Adek nggak ambil apapun dari Papi. Tugas Papi udah selesai dan Papi harus pulang kepangkuan Tuhan, jadi Papi percayakan paru-parunya untuk Adek.”

Dande menangis keras teringat mimpinya bertemu papinya, ia terlalu berlarut-larut dalam kesedihan sampai melupakan permintaan papinya yang memintanya menjaga maminya, Rini.

Fahri yang tidak tega melihat Dande menangis sesenggukan, mengambil alih Dande ke gendongannya. Untuk pertama kalinya setelah kejadian itu Dande tidak memberontak saat disentuh selain istrinya, setidaknya ada kemajuan dari sebelumnya.

Fahri dengan sabar menggendong Dande ke sana-kemari, diikuti Diana yang memegang tiang infus dan oksigen portable, menyesuaikan arah langkah Fahri.

“Ayah, Bunda … hiks maafin Adek, Adek … hiks … Adek akan berusaha menerima paru-paru Papi,” ucap Dande menatap kedua orang tuanya. Merasa bersalah terhadap kedua orang tuanya yang tampak lelah mejaganya dua puluh empat jam tanpa mengeluh.   

Fahri dan Diana terdiam seketika, tak sadar air mata mereka turun mendengar langsung ucapan lirih Dande. Akhirnya doa yang selalu mereka panjatkan diwujudkan Tuhan, Dande mau menerima keadaan yang berat untuk diterima.

TBC


Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang