Sunyi melingkupi ruangan serba putih yang dilengkapi alat-alat medis. Semua mata tertuju pada sosok yang terbaring di ranjang pesakitan, ucapan syukur tak bosan diucapkan melihat kesayangan mereka berangsur membaik dari sebelumnya.
Dande sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa setelah dipastikan kondisinya beberapa jam yang lalu. Walaupun Dande belum sadarkan diri, setidaknya ada harapan dia kembali.
Selang ventilator yang menjajali mulut Dande telah dikeluarkan, digantikan dengan masker oksigen, namun kabel-kabel yang menempel di tubuh Dande belum bisa dilepaskan.
Para anggota keluarga duduk di sofa, begitu juga dengan Tama dan Elang. Membiarkan Diana dan Rini duduk di sebelah brankar, menemani kesayangan mereka yang masih terlelap dalam damainya.
Diana mengusap lembut tangan ringkih Dande, tersenyum sendu menyaksikan anak kesayangannya terbaring lemah ditemani alat-alat medis, walaupun tidak sebanyak kemarin. Tidak satu dua kali Diana dihadapkan seperti ini, namun Diana belum terbiasa melihatnya.
Rini hanya duduk memperhatikan. Dalam diamnya, ada rasa lain menyudutkan hatinya. Rini akui menyayangi Dande, namun rasa itu tertutupi benci karena permainan takdir.
Dulu, Rini pernah bermimpi ingin mempunyai anak perempuan. Berkat usaha dan doa, Tuhan mengabulkannya. Rini hamil, dan itu menjadi berita mengembirakan keluarga kecilnya, terutama Elang yang begitu menginginkan adik kecil.
Bulan demi bulan terlewati, tepat di usia kandungannya yang kelima. Tama membawa pulang anak kecil digendongannya, Dande. Menggemaskan dan Rini jatuh hati dibuatnya.
Hari-hari mereka tambah berwarna dengan kehadiran Dande, namun dibalik itu ada rahasia besar Tama sembunyikan. Rini dibohongi mengenai asal-usul Dande, hingga suatu malam rahasia itu terbongkar siapa Dande sebenarnya.
Tama hampir mati di tangan musuh Fahri, hingga menyebabkannya cedera saraf tulang belakang yang menyebabkannya mandul, karena berusaha memberi tahukan keberadaan Dande kepada keluarga kandungnya.
Rini marah besar, menyuruh Tama menyerahkan Dande kepada orang yang menekan keluarganya. Tentu ditentang keras dan tetap melindungi Dande dari musuh Fahri, sejak saat itu Rini mulai membenci Dande. Tidak sampai di situ, Rini keguguran lantaran stres selama semasa kehamilan.
Sebelumnya Dokter sudah memperingatkan, mengingat rahim Rini yang lemah. Nasi sudah menjadi bubur, anak yang dinantikan tidak dapat dilahirkan dan semakin memupuk ketidaksukaannya kepada Dande.
Rini sadar, anak yang ia benci selama belasan tahun begitu berharga. Sekarang, hanya satu harapannya, ingin Dande seperti dulu. Manja dan merengek setiap kali Elang mengganggunya. Rini rindu masa-masa itu, tapi … apa bisa diulang kembali?
”Rini … apa kau tau, Adek selalu mencarimu? Sampai Kakak iri dibuatnya.” ucap Diana tanpa mengalihkan pandangan. Rini bungkam, tidak bisa membalas perkataan Diana.
Diana memutar arah pandang, menatap Rini dalam-dalam. ”Kakak memang orang tua kandungnya, tapi rasa sayangnya padamu begitu besar.”
Rini menggeleng lemah. ”Aku nggak pantas mendapatkannya, aku hanyalah ibu angkatnya dan aku sangatlah jahat yang tidak pantas untuk disayang.”
Diana tersenyum. Mengambil tangan kanan Rini dan meletakkannya di punggung tangan Dande. ”Apa yang kamu rasakan?”
Rini memejam sesaat, merasakan desiran hati yang menahan tangannya untuk tetap di sana. Sudah lama tidak menyentuh tangan Dande, rasanya seperti dipertemukan pertama kali.
”Sayang, kan? Sampai tidak mau melepaskannya,” ucap Diana.
Rini mengeratkan genggaman, mencium sayang tangan terkulai Dande. ”Adek … hiks,” lirihnya.
”Rini, maukah membantuku menjaga Adek? Dan memberikannya kasih sayang yang selama ini dia nantikan?” Rini mengangguk menjawab pertanyaan Diana.
Semua anggota keluarga yang memperhatikan, tersenyum. Satu masalah telah usai, tinggal selangkah lagi kebahagiaan mereka menjadi lengkap.
Genggaman tangan Rini terasa dibalas oleh sang empu, mata yang terpejam erat bergerak gelisah dalam pejamnya.
”Adek ….” panggil Diana dan Rini bersamaan.
Anggota keluarga lain yang menyadari hal itu, berbondong-bondong mengerumuni brankar.
Perlahan mata itu dibuka sayu, menjernihkan padangan yang perlahan jelas. Hingga terfokus pada Tama, Rini dan Elang. Bayang-bayang masa lalu bagaikan kaset rusak memenuhi otaknya, semakin tidak kendali setiap kali menarik napas yang menyesakkan.
”Kau bukan anak saya! Kenapa … hiks selalu menjadi masalah, hah?!”
”Dasar anak pembawa sial, kenapa nggak mati aja?!"
“Gue bukan kakak lo!”
Dada Dande naik turun, matanya bergerak gelisah menghindari tatapan keluarga angkatnya. Menarik tangannya menjauh dari Rini, meringsut takut mencari perlindungan.
”Nggak-nggak … hiks … maaf … maaf … hiks.”
Mereka panik dengan respon Dande yang tidak terduga, nyaringnya suara elektrokardiogram yang tidak beraturan menambah kepanikan. Mereka mundur, memberikan ruang kepada Reza dan Faro menangani Dande.
Faro dan Reza bertindak cepat menenangkan Dande. Raungan meminta maaf terus diteriakan memenuhi ruangan, Reza terpaksa menyuntikkan obat penenang jika seperti ini. Tak lama, Dande kembali terpejam dengan isakan meminta maaf terucapkan.
Reza dan Faro dapat bernapas lega, membetulkan selimut Dande berantakan. Para nggota keluarga langsung mendekati brankar.
“Adek kenapa bisa jadi seperti ini, Za?” tanya Fahri khawatir.
”Adek trauma kejadian sebelumnya. Sebaiknya jauhkan Adek dari hal yang membuatnya sedih. Takutnya nanti akan berimbas buruk pada kondisinya.
Rini, Tama, dan Elang serasa dihempaskan kasar oleh penolakan. Benih keegoisan yang mereka tanam telah dituai penyesalan. Kini, sosok itu semakin jauh digapai, meninggalkan mereka dalam jurang penyesalan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion || Last Destiny [TERBIT]
Roman pour AdolescentsPart Lengkap+sudah dibuku kan, bisa dipesan melalui Shopee Firaz Media Takdir Sesungguhnya telah datang, membawa luka baru penambahan luka yang lalu. Menggores asa yang dia punya, mengikis hubungan yang jauh dari kata sempurna. Dia dengan dunia ke...