Angin lembut mengusik lelap Elang, perlahan netra tajamnya mengintip di sela-sela sinar menyilaukan mata, hingga terbuka sempurna menampakkan pemandangan indah.
Sejauh mata memandang, hamparan padang bunga menyejukkan mata.
Namun, Elang langsung terfokus pada seseorang berpakain serba putih yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Ia sangat kenal perawakan tubuh itu, sangat mengenalinya.Tanpa pikir panjang Elang langsung memeluknya penuh kerinduan. Pipinya tidak berhenti mengalirkan butiran bening berserakan. Kata maaf pun tak berhenti diucapkan, sampai pelukannya dilepaskan secara lembut oleh sosok yang dirindukan, Dande.
”Adek … hiks.” Elang tak kuasa menahan tangis, melihat Dande tampak sehat di hadapannya.
“Kakak, lucu banget, sih.” Dande terkekeh mendengar Elang seperti anak kecil minta dibelikan permen.
Elang kembali menerjang tubuh Dande, hingga membuat mereka jatuh berpelukan di hamparan rumput. Dande tersenyum, mengusap wajah Elang. Menatapnya dalam, menyalurkan kerinduan terdalam.
“Kakak, kenapa di sini? Ini bukan tempat Kakak. Sebaiknya Kakak pulang, pasti Mami, Papi nunggu Kakak.”
Pertanyaan Dande semakin menambah arus air mata Elang. ”Kakak nggak akan pulang kalau Adek nggak ikut pulang.”
Dande menggeleng. “Adek nggak bisa pulang, Adek mau di sini. Di sini tenang, nggak ada yang bisa buat Adek sakit.”
Elang duduk, menghadap Dande yang ikutan duduk. “Adek ngomong apa, sih?! Kakak tau kakak salah, tapi jangan hukum kayak gini … hiks. Adek nggak mikirin Kakak, Mami, Papi, dan keluarga kandung Adek. Semuanya nunggu Adek … hiks.”
Dande merengkuh erat, mengusap punggung bergetar Elang. “Kakak … Adek capek, ingin istirahat, boleh?”
Elang menggelang cepat, melepaskan pelukan Dande. ”Nggak! Adek nggak boleh nyerah, Adek lupa janji kita, sama-sama sampai tua nanti? Adek mau ingkar janji?!”
Ingatan Dande berputar di masa kecil mereka. Masa di mana kehidupan mereka dipenuhi canda tawa, banyak janji dilontarkan, tanpa tahu apa bisa diwujudkan. Sekarang, salah satu janji mereka dipertanyakan, menyuruhnya untuk terus berjuang.
”Kak ….”
”Nggak boleh ingkar janji … hiks … laki-laki nggak boleh ingkar janji … hiks … itu yang Adek bilang sama Kakak.”
”Tapi Adek ingin bahagia.”
”Kakak akan buat Adek bahagia!” sanggah Elang, tersenyum menyakin kan. “Kita mulai dari awal, ya?”
Dande menatap teduh sang Kakak, bibirnya tersenyum sendu seraya berkata, “kembali lah, Kak. Mereka menunggu, Kakak.” Berdiri, berjalan meninggalkan Elang.
”Adek kembali!” teriak Elang. Berusaha mengejar Dande yang jauh dari pandangan, sampai suara lain menariknya ke dalam titik hitam. Mengombang-ambing kesadaran, mengantarkannya ke titik terang.
“Elang.”
“Elang.”
“Elang”
“Elang!”
Elang tersentak, mengedarkan pandangan, meneiliti ruangan serba putih tempatnya berada.
Elang menoleh ke samping. Mahen dan kedua sahabatnya, Dito dan Faisal menatapnya khawatir. Rasa kebas baru terasa di tangan kirinya, rupanya infus menancap di punggung tangannya.
”Lang, lo sadar?”
Plak
Dito memukul kepala Faisal. Sungguh pintar sekali sahabatnya ini. Udah tahu Elang sadar, masih ditanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion || Last Destiny [TERBIT]
JugendliteraturPart Lengkap+sudah dibuku kan, bisa dipesan melalui Shopee Firaz Media Takdir Sesungguhnya telah datang, membawa luka baru penambahan luka yang lalu. Menggores asa yang dia punya, mengikis hubungan yang jauh dari kata sempurna. Dia dengan dunia ke...