Ruang rawat Dande tampak ramai, walaupun sebagian anggota keluarga Erlangga ada yang sudah pulang. Belum lagi kedatangan Elang dengan kedua sahabatnya, memperamai suasana.
Brangkar Dande dikelilingi kakak-kakak dan abang-abangnya. sementara para orang tua duduk di sofa memperhatikan mereka.
“Adek, buka dulu mulutnya.” Faro menyodorkan sesendok buah apel, yang dipotong kecil-kecil oleh kedua sahabat Elang.
Vito dan Faisal mendapat tugas mengupas dan memotong apel hijau kesukaan Dande. Mereka tak keberatan walaupun terkesan diperintahkan oleh Elang seenek jidatnya.
Dande membuka mulut, menerima suapan kakak Faro.
“Pintar adeknya Kakak.” Fero mengacak rambut Dande.
“Jangan diacak-acak Kak, nanti ilang ganteng Adek,” protes Dande.
“Ganteng apanya Dek. Orang kamu imut gitu,” goda Mahen.
“Untuk pertama kalinya, gue setuju sama lo, Hen,” sahut Elang.
“Iiiii, mata kalian rabun, ya? Jelas-jelas Adek ganteng kayak Ayah, benar kan Yah?” ujar Dande percaya diri.
Fahri merasa terpanggil, mendekatkan diri keranjang pesakitan si Bungsu, membawanya ke dalam pelukannya. “Siapa bilang? Anak Ayah ini imut mirip Bunda.”
Dande cemberut, Memberontak ingin dilepaskan. “Ayah nggak asyik!"
“Jangan gerak Dek, nanti ketari..k”
Benar saja, jarum infus di punggung tangan Dande ketarik. Membuat darah mengucur deras membasahi selimut.
“Huwaaaaa, sakittttt ... hiks …hiks ... darah ... hiks.” Dande menangis kesakitan, merasakan sensasi ngilu dan perih.
Para orang tua yang duduk di sofa kelabakan, berlomba-lomba mendekati si Bungsu yang menangis sesegukan di pelukkan Fahri.
Faro bertindak cepat, mengambil tangan Dande. Membersihkan darah menggunakan kapas. “Adek nakal, makanya dengarin orang tua.”
“Sakit Kakak ... hiks … pelan-pelan!”
Faro terkekeh, adek bungsunya ini sungguh menggemaskan. “Katanya mirip Ayah, luka dikit aja nangis-nangis,” ejek Faro.
Sewaktu Faro mau menancapkan jarum infus yang sempat terlepas, Dande langsung menarik tangannya cepat. “Jangan ditusuk-tusuk lagi. Nggak usah, Adek udah sehat.”
“Eeeh, apaan. Adek masih butuh cairan infus,” tolak Faro, diangguki yang lain.
Dande menggeleng cepat. “Adek mau pulang,” rengeknya. Mendusel kepalanya ke dada bidang Fahri.
Fahri mengecup puncak kepala Dande dengan sayang. “Adek, jangan kayak gini.”
Dande tetap menolak, dia tidak betah dikurung selama seminggu lebih tanpa keluar.
“Adek, sayangnya Bunda,” panggil Diana, duduk di tepi brangkar.
Dande menoleh, beralih memeluk Diana. “Bunda pulang ... hiks ... hiks.”
Diana bersitatap kepada Reza dan Faro, yang merangkap dokter pribadi si Bungsu, hingga suara Faro menerbitkan senyuman manis Dande.“Baiklah, Adek boleh pulang,” putus Faro berat hati, setelah mendapat tatapan setuju Papa Reza.
Sebenarnya dua hari lagi Dande baru boleh keluar rumah sakit. Namun mana tega melihat Dande menangis.
“Tapi .…” jeda Faro, melunturkan senyuman Dande. “Besok siang pulangnya, tidak ada bantahan.” sambung Faro, sebelum Dande protes.
Dande memutar tubuhnya kesal menghadap. “Yah kok gitu sih, sekarang lah, Kak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion || Last Destiny [TERBIT]
Roman pour AdolescentsPart Lengkap+sudah dibuku kan, bisa dipesan melalui Shopee Firaz Media Takdir Sesungguhnya telah datang, membawa luka baru penambahan luka yang lalu. Menggores asa yang dia punya, mengikis hubungan yang jauh dari kata sempurna. Dia dengan dunia ke...