Membabat Luka

559 68 12
                                    

Tuhan tahu yang terbaik untuk hamba-Nya, memberikan takdir kepada manusia, membiarkan semesta menguji dengan permasalahan.

Baik dan buruk saling berdampingan dalam permasalahan, memberikan pilihan sebagai keputusan. Hingga apa yang dilakukan, penentu jalan kehidupan.

Hati dan pikiran saling berperan, mengoyahkan semua kepercayaan, dan menjadi andil penggerak takdir manusia.

Jauh sebelum manusia berencana, Tuhan telah menulis perjalanan hidup di dunia. Keputusan telah dibuat, dan manusia hanya bisa berusaha mendapatkan ketentuan Tuhan. 

Semua terlihat abu-abu, sampai Tuhan memerintahkan semesta bekerja, menghancurkan harapan manusia. Satu hal yang tidak manusia ketahui, Tuhan menguji ketegaran hati yang meminta kepada-Nya.

Namun Elang hanyalah manusia, punya keiinginan suka cita. Bila tak sesuai dari yang diharapkan, amarah dan kebencian mengakar di dalam hati.

Rasanya tidak adil ketika semua kebahagiaanya direnggut tanpa aba-aba. Elang belum siap dihadapkan kejamnya semesta bekerja, hingga apa yang berusaha ia pertahankan akan digantikan penderitaan.

Tuhan begitu mempermainkan perasaannya! Hatinya membenci Dande, tapi di lain sisi ia sangat khawatir mendengar anak itu sekarat.

Bukankah itu berita bagus untuknya?

Namun mengapa hatinya memberontak ingin menemui orang yang telah menghancurkan kebahagiaannya.

Kakinya tanpa sadar membawanya ke rumah sakit, melangkah berat kesebuah ruangan yang jauh dari keramaian. 
Hanya beberapa orang yang lewat, karena area yang Elang lalui adalah ruang rawat intensif.

Langkahnya terhenti melihat kaca tembus pandang menampilkan tubuh yang tergolek lemah di depan matanya. Tubuhnya mendadak gemetar, dengan mata berkaca-kaca.

Hanya Elang berada di sana, membuat suasana sunyi dan menyesakkan melihat tubuh ringkih itu ditempeli berbagai alat-alat medis.

Hanya Elang berada di sana, membuat suasana sunyi dan menyesakkan melihat tubuh ringkih itu ditempeli berbagai alat-alat medis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan ragu , tangan besar Elang memegang knop pintu, melangkah ke dalam. Semakin mendekati brangkar, suara nyaringnya EKG mengiri setiap langkah Elang. Memperjelas tubuh kurus itu hanya ditutupi kain tipis di area pribadinya.

Elang berhenti tak jauh dari brangkar, memberi jarak di antara mereka. Matanya memanas melihat hanya tatapan kosong di sana.

Elang memberanikan diri mendekat ke brangkar, sedikit memperjelas langkahnya. Tak ada respon semenjak masuk ke dalam.

Lima menit berlalu, belum menunjukkan Dande mengalihkan tatapan kosongnya. Membuat hati Elang tercabik-cabik memperhatikan tarikan napas berat itu.

Bukankah Dande telah mengambil paru-paru papinya?

Tapi kenapa kondisinya masih memburuk?

Bahkan lebih buruk sebelum Dande mengambil paru-paru papinya-Tama.

Tangannya bergetar melambai ke arah wajah pucat Dande, tetap tidak ada respon. Tangannya beralih menggoyangkan tubuh kurus Dande.

“Jangan pura-pura! Lo hanya ingin menarik perhatian gue, kan?!”

Namun, tetap tidak ada respon. Dande seperti mayat hidup di mata Elang. Ia tidak menyukai perasaan ini! Sangat menyakitkan melihat Dande tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.

“Lo tau? Gue benci lo hidup! Tapi gue sakit lihat lo seperti ini! Kenapa lo harus masuk  kehidupan gue? Lo nyiksa gue, tau nggak!”

Elang bersimpuh memegang ujung brangkar, tangisnya pecah meluapkan emosinya. “Gue akan lebih membenci lo, kalau lo memilih menyerah!”

Setelah  mengatakan itu, Elang berlari keluar. Tanpa sadar mata yang menatap kosong itu mengeluarkan air mata.

Bruk

Elang jatuh terduduk menabrak tubuh besar di depannya. Menghapus air matanya melihat siapa yang ia tabrak-Faro.

Fero di sebelah Faro membantu Elang berdiri. Ia hanya diam melihat Elang keluar dari ICU, hingga menabrak kembarannya.

Mereka sedari awal memperhatikan Elang dari luar. Sebenarnya Fero sedikit was-was, Elang akan menyakiti Dande, tapi Faro meyakinkannya, semuanya akan baik-baik saja.

Benar saja, Elang melakukan hal di luar ekspetasi mereka. Malah menyemangati Dande, walaupun dengan kalimat sarkasnya.

Faro dan Fero membawa Elang duduk di kursi tunggu, mengapit pemuda itu di tengah mereka. Mereka tersenyum melihat Elang yang misuh-misuh.

Fero yang tak tahan mengacak rambut Elang. Walaupun wajahnya terlihat sangar, akan terlihat lucu ketika salah tingkah. “Terimakasih, ya, udah jenguk Adek. Pasti Adek senang kakaknya datang.”

Elang menepis tangan Fero. “Awas! Jangan sentuh-sentuh gue! Gue cuma mastiin dia apakah benar-benar sekarat!” Faro dan Fero merubah murung mendengar kata tak berperasaan Elang.

“Jangan bohong, Lang! Kamu pasti khawatirkan dengan keadaan Adek?” tanya Faro menyudutkan Elang.

Elang membuang muka, membuat si kembar terkekeh.

“Adek menolak paru-paru barunya, hingga menyebabkan gagal donor.  Kondisi Adek semakin memburuk sampai sekarang,” tutur Faro, mampu menarik perhatian Elang.

Elang menatap rumit Faro, hatinya kembali sesak mendengar kabar mengejutkan itu. “Bukankah seharusnya dia sehat setelah mengambil paru-paru papi gue?”

“Kenapa kamu berpikir Adek yang mengambil paru-paru papi kamu? Bukankah sudah jelas itu keinginan papi kamu sendiri,” sanggah Fero.

Elang berdecih, ia belum terima papinya mengorbankan nyawanya demi Dande. “Kalau dia tidak sakit-sakitan, pasti Papi nggak akan memberikan paru-parunya!”

Seketika suasana di antara mereka menjadi suram. Baik Fero maupun Faro menahan amarah menghadapi Elang yang keras kepala.

Faro menatap dalam Elang yang menatap mereka dengan garang. “Kamu salah, Lang. Jika pun papi kamu tidak memberikannya paru-parunya, ia tetap tidak tertolong. Papi kamu ingin Dande hidup bahagia setelah kepergiannya, dengan memberikan paru-paru baru untuk kesehatan Adek.”

Fero mengalihkan pandangan ke ruangan ICU, memperlihatkan Dande yang terus memandang kosong. “Tapi … semesta tidak puas menghancurkan kebahagiaan Adek. Adek merasa bersalah karena telah menerima donor dari papinya sendiri, ditambah ….” Beralih pandang melihat Elang yang mulai melunak. “Kamu, dan Tante Rini menyalahkannya atas kematian Om Tama. Jiwa dan raganya begitu lelah menerima semua ini.”

Elang menunduk, hatinya tersentil mendengarnya. Apakah ia sejahat itu, hingga membuat Dande  menyalahkan dirinya sendiri. Ia pikir, Dande hidup bahagia setelah menerima paru-paru papinya. Ternyata ia salah.

“Senyum yang ditampakkan kepada kita, itu hanyalah topeng, Lang. Ia sudah hancur luar dalam. Sekarang puncak lelahnya, Adek terjebak dalam dunia penuh kehampaan, sampai mengabaikan kami yang berusaha mempertahankannya,” sendu Faro. Matanya berkaca-kaca mengingat pandainya adeknya itu menyembunyikan lukanya.

Elang yang tak tahan mendengar si kembar, beranjak pergi begitu saja. Hatinya remuk menyangkal semua perkataan meruntuhkan egonya.

Faro dan Fero hanya bisa menatap nanar Elang yang semakin jauh. Jauh dari lubuk terdalam, mereka berharap Elang kembali menyayangi Dande kembali, dan tante Rini berdamai dengan keluarga mereka. Semoga Tuhan memberikan takdir kebahagian mereka semua, tanpa harus ada yang berkorban. 





TBC


Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang