Hidup ini penuh misteri, tidak tahu apa yang akan terjadi. Tentang hati diombang perasaan, tentang lara dihantam kenyataan. Bagi yang belum bisa berdamai dengan keadaan, hiruk pikuk pengharapan, sendu akan keputusasaan.
Namun, Tuhan tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya jatuh dalam keterpurukan. Akan ada kebahagian yang menanti, memberikan apa yang ingin diraih, dan merasakan kehidupan yang diidami. Memang tidak mudah mendapatkannya, pasti halangan dan rintangan menguji kesabaran.
Seperti kehidupan Dande. Banyak air mata mengiri perjalanan, mengorbankan apa yang ia punya, hingga kehilangan papinya, Tama.
Sekarang, Dande hanya bisa maju ke depan, tanpa mau mengulang masa lalu, karena apa yang lalu hanyalah menjadi kenangan, tidak bisa menggambarkan masa depan. Ia tidak boleh terjebak dengan yang sudah-sudah, biarkan jiwa dan raga memulai kehidupan baru.
Dande tersenyum melihat pantulan cermin memperlihatkan tubuhnya yang hanya bertelanjang dada, diusap pelan bekas jahitan memanjang di dadanya, tak lupa mengucapkan kata syukur di dalam hati. Dirinya kembali sehat sedia kala, tubuh yang dulunya kurus kini menjadi lebih berisi, membuat orang-orang di sekitarnya tak tahan memegang gumplan lemak di pipinya.
Faro dan Fero memperhatikannya diambang pintu, tersenyum melihat Dande tidak seperti dulu, banyak kisah mengantar adek mereka sampai pada titik ini.
“Udah senyam-senyumnya, kan nggak lucu tiba-tiba kesambat setan pagi-pagi gini,” ucap Fero mengejek, yang dibalas muka masam sang empu.
“Enak aja! Bilang aja kakak sirik melihat dengan tampan ku ini.” Dande memamerkan senyum pepsodent-nya.
Faro geleng-geleng kepala dibuatnya, masuk ke dalam kamar Dande diikuti Fero di belakang. “Muka imut gitu di bilang ganteng.” Faro menguyel-nguyel pipi bakpau Dande.
“Gantengan kakak kali,” celetuk Fero. Menyugarkan rambutnya kebelakang dengan gaya slow mation.
Dande memutar bola matanya malas, menepis tangan kakak sulungnya. “Mendingan Kakak pergi deh. Adek mau pakai baju,” usirnya.
“Iya-iya, jangan lama-lama, kan hari ini kita piknik. “ Dande hanya diam sambil mendorong kakak kembarnya keluar.
Tak lama setelah itu Dande turun menggunakan lift menuju lantai dasar. Dande tersenyum lebar melihat keluarga kecilnya sudah berkumpul di meja makan, tak lupa mencium satu-persatu keluarganya sebelum duduk.
Diana mengambil nasi beserta lauk pauknya untuk si bungsu yang baru bergabung, sementara Fahri membawa anak bungsunya duduk ke pangkuannya. Bukannya tidak ada kursi yang kosong, memang kebiasaan Dande setiap makan di pangku salah satu mereka, apa lagi tubuh Dande yang mungil tidak akan memberatkan mereka.
“Buka mulutnya, Dek.” Diana menyodorkan sesendok nasi ke mulut Dande, yang senang hati diterima.
Fahri terkekeh memperhatikan Dande sedang makan, mengusap bibir Dande yang terdapat remehan nasi.
Mahen yang di sebelah ayahnya, mencubit pipi Dande saking gemesnya ketika mengunyah makanan.
“Ayah … sakit, Abang nakal,” adu Dande, mengusap pipinya yang dicubit abang sepupunya.
“Mahen, jangan ganggu adekmu. Biarkan Adek makan dengan tenang,” tegur Fahri.
Mahen terdiam, takut dengan muka garang sang Ayah. Setelah itu sarapan pagi dilanjutkan dengan tenang, sesekali Dande berceloteh mencairkan suasana. Rasanya Fahri dan Diana baru merasa hidup dengan Dande pulang kepangkuan mereka, setelah sekian lama hilang membawa separuh jiwa mereka.
Berbeda dengan keluarga Elang, sunyi dan suram mansion yang besar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan mengawali hari, hanya detik jam yang berbunyi.
Elang duduk bersandar headboard kasur, memandang kosong ke depan, tanpa ada binar semangat kehidupan. Ia tidak tidur semalam, hanya duduk merenung meratapi nasib yang tak bertumpuan.Biasanya, setiap pagi mansion-nya sibuk dengan kegiatan. Sang Papi bersiap-siap ke kantor, mami memasak di dapur, dan ia bersama Dande bersiap-siap ke sekolah. Namun, sekarang tinggallah kesunyian saat papinya pergi menghadap Sang Pencipta. Ia rindu dengan kebersamaan dulu, ia rindu semuanya termasuk Dande yang sudah tinggal dengan keluarga kandungnya, melupakan keluarga lama yang dihancurkan kebahagiaanya .
Dilangkahkan kakinya keluar kamar, menuju kamar orang tuanya. Saat masuk ke dalam aroma alkohol menyeruak. Maminya, Rini, tidur di tengah botol-botol bir berserakan, hal biasa Elang lihat setelah kepergian papinya.
Diambilnya satu-persatu botol bir, memasukkannya ke dalam tong sampah ke sudut ruangan, lalu menyelimuti Rini yang terlelap. Setelah itu melangkah keluar menuju dapur, memasak untuk sarapan pagi mereka.
Waktu terus berlalu, nasi goreng buatannya sudah jadi dan disajikan di meja makan. Bertepatan saat itu, Rini turun dari tangga dengan pakaian yang rapi, berjalan sempoyongan mendekati meja makan.
“Akhh kepalaku,” keluh Rini memegang kepalanya yang pusing.
“Minum, Mi.” Elang dengan sigap memberi segelas air putih, diterima cepat oleh Rini.
Elang mendekatkan sepiring nasi goreng buatannya ke Rini. “Makan, Mi. Elang tau Mami belum makan sejak kemarin.”
Rini hanya mengangguk, menyendokkan nasi goreng ke mulutnya, begitu juga dengan Elang.
Jujur Elang benci suasana seperti ini, hanya kehinangan mengambil alih.
Elang terpikir Dande. Dulu sebelum keluarga hancur berantakan, mansion mereka terasa ramai walaupun cuma mereka berempat, Papi, Mami, Dande, dan dirinya.Dande lah yang menghidupkan suasana dengan coletahan lucu yang menggemaskan. Elang sangat menyukainya, tapi sekarang berubah benci karena papinya meninggal akibat diambil paru-parunya untuk Dande.
“Mami hari ini pulang malam, jangan tunggu Mami kayak kemarin,” ujar Rini yang sibuk mengecek handphone-nya.
“Hari ini cuti aja Mi. Mami kayaknya kurang sehat,” elang menatap lekat wajah Rini yang pucat.
Semenjak papinya meninggal, maminya yang banting tulang menghidupi kehidupan mereka. Sampai-sampai Elang jarang bertemu maminya karena kesibukan kerja.
“Nggak bisa Elang! Perusahaan Mami sedang menurun, banyak investor menarik sahamnya. Bisa-bisa kita jatuh miskin. Hanya perusahaan itu yang dapat kita harapkan,” bantah Rini tanpa sadar meninggikan suaranya. Strees dengan klien kemarin yang dengan enaknya membatalkan perjanjian.
Elang meremas pahanya, selalu seperti ini Elang dengar. Maminya berubah semenjak kepergian papinya. Maminya lebih sibuk bekerja dengan perusahaan yang dibangun susah payah, pergi saat Elang tidur, pulang saat Elang tidur.
Elang sudah menawarkan diri untuk turuk andil bekerja di perusahaan, tapi maminya menolak dengan alasan tidak mau mengganggu sekolah anaknya. Andaikan papinya masih ada, pasti maminya tidak menanggung beban sebesar itu sendirian.
“Mami pergi dulu, ingat pesan Mami tadi. Kalau butuh uang atau ada yang kurang hubungi saja Mami.” Rini berdiri, berlalu pergi tanpa memberikan kecupan pagi yang biasa Elang dapatkan.
Elang menghela napas, berdiri membereskan makanan yang tersaji walaupun masih banyak di piringnya. Masuk ke kamar memutuskan siap-siap pergi keluar, mencari udara segar.
Beberapa menit kemudian, Elang sudah rapi, pergi ke garasi menaiki motor kesayangannya membelah jalanan.
Sampailah di sebuah taman luas nan indah, tempat yang cocok untuk piknik di hari weekend. Banyak anak-anak dan orang tua menghabiskan waktu bersama berbagi canda tawa, dan pasangan kekasih merajut kasih.
Tak sengaja, matanya menangkap salah satu keluarga yang begitu bahagia dengan piknik yang mereka persiapkan. Matanya memanas, tangannya mengepal kuat, dadanya bergemuruh hebat menahan rasa bergejolak.
Disana, Dande tertawa tanpa beban bersama keluarga kandungnya, seolah tidak ada raut penyesalan setelah mengorbankan papinya Elang.
“Gue benci lo sialan."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion || Last Destiny [TERBIT]
Teen FictionPart Lengkap+sudah dibuku kan, bisa dipesan melalui Shopee Firaz Media Takdir Sesungguhnya telah datang, membawa luka baru penambahan luka yang lalu. Menggores asa yang dia punya, mengikis hubungan yang jauh dari kata sempurna. Dia dengan dunia ke...