Haruskah pergi?

3.2K 314 43
                                    

Di bawah sinar rembulan, remaja laki-laki bertubuh kurus berbaring menyamping menghadap jendela. Melihat indahnya langit malam, dihiasi bulan dan bintang. Air matanya jatuh membayangkan nasibnya yang malang, sejak kecil ia sudah dikenalkan kejamnya dunia.

Dande tersenyum kecut terngiang suara lantang kakaknya yang tidak mendapatkan jawaban titik terang. 
Dande mendengar semuanya, ia belum benar-benar tidur saat Elang pergi menemui papinya.

Berdiri kaku di depan pintu ruang kerja papinya, teriakan Elang meminta haknya menghentikan langkahnya masuk ke dalam ruangan. Menunggu papinya menjawab pertanyaan yang selama ini bersarang di otaknya. Namun lagi-lagi jawaban yang sama diberikan.

Kakaknya benar, dia anak yang dibuang, tidak diharapkan sampai harus dihantarkan ke panti asuhan. Hingga suatu hari papinya datang, mengangkatnya sebagai anak diumurnya kelima tahun, membawanya pulang dan memberikannya kasih sayang.

Dande bahagia diadopsi oleh keluarga Dirgantara, walaupun maminya menentang keras kehadirannya. Tapi ia tidak masalah karena dua orang sosok berharga, papi dan kakaknya menjadi tumpuan.

Namun itu tidak bertahan lama, papinya lambat laun ikut membenci kehadirannya, menambah luka yang belum kering dimakan waktu.

Dande tidak tahu apa salahnya, dia hanya diam menerima siksaan menjadi teman setia derita hidupnya. 

Sering kali ia berpikir, apakah ia hidup hanya untuk menderita?

Ia juga ingin seperti anak lain yang hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, mendapatkan kasih sayang seorang anak. Namun itu hanyalah angan-angan belaka, keluarga kandungnya saja membuangnya, untuk apa berharap lebih.

Dande menyeka air matanya, saat suara decitan pintu dibuka perlahan. Memejamkan mata, seakan tengah tertidur membelakangi Elang yang datang.

Pinggir kasur di duduki Elang, tangannya bergerak mengusap lembut surai Dande. “Dek ... kakak nggak kuat lihat kamu diperlakukan tidak adil.”

Dande menggigit dalam bibirnya, menehan tangis  yang kapan saja pecah, menghancurkan curhatan hati Elang, dia tahu kakaknya ikut terluka dengan apa yang dialaminya.

Elang membaringkan tubuhnya, memeluk Dande sebagai penenang hidupnya. “Walaupun kita tidak sedarah, kakak tetap menyangimu. Kakak janji, apapun yang terjadi Kakak akan tetap melindungimu, sekalipun nyawa taruhannya.”

Dande meremat kuat selimutnya, relung hatinya memberontak tidak menerima perkataan Elang. Sudah cukup kakaknya banyak berkorban, biar dirinya menanggung semuanya sendirian.

Dande benci hidupnya, dia anak pembawa sial. Keluarga angkatnya selalu bertengkar karena dirinya, andai papinya tidak mengadopsinya, pasti kakaknya bisa menjalani hari layaknya keluarga bahagia. Pantas saja orang tua kandungnya membuang dirinya seperti sampah tak berguna.

Ingin marah, tapi ia bisa apa?

Ia tidak mampu melawan semua takdir kehidupan. Haruskah ia menyerah agar orang-orang yang ia sayang  hidup bahagia?

Sementara dari kejauhan, seseorang merindukannya, menatap langit yang sama. Dialah Fahri, duduk membelakangi dokumen menumpuk di meja kantornya.

Dinding kaca tembus pandang, memaparkan langit malam dihiasi taburan bintang dilengkapi sinar rembulan pelengkap keindahan, namun tak mampu menghalau sesak membelanggu hatinya.

Hari-harinya begitu monoton, tidak ada yang istimewa. Sosok yang diharapkan sumber kebahagian, hilang entah kemana, membuatnya tersiksa menahan rasa terpendam.

Telephone kantor berbunyi, Fahri memutar kursi kebesarannya, mengangkat telephone dari sekretarisnya.

Maaf, Pak, Teman bapak ingin bertemu.

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang