Memberikan Janji Sebelum Pergi

1.1K 134 5
                                    

Di dalam ruangan remang-remang dan riuhnya angin malam, Rini, meringkuk memeluk diri sendiri.

Dingin menyapa tubuh ramping yang tidak tertutup sempurna, menusuk-nusuk setiap jengkal kulit putih tanpa noda, seakan memberikan celah melemahkan raga yang rapuh.

Tidak hanya raga mulai rapuh, juga, separuh jiwanya hilang bermasa sosok itu pergi. Kini, harapan yang ia gaungkan selama ini, melebur bersama semangat dan harapannya.

Rini belum siap ditinggalkan, walaupun sosok itu tetap pergi untuk selamanya. Kebahagian yang baru didapatkan, hancur dalam satu malam, tanpa memberikannya kesempatan meminta maaf kepada yang mendahului.

Tik

Tik

Tik

Perlahan, tetesan langit mengambil alih sunyinya malam. Tangisan yang berusaha Rini redam, pecah melepaskan sesak di dada, meraung-raung memanggil dia yag telah pergi, memegang erat dan mencium kemeja putih terakhir kali dipakai laki-laki cinta sejatinya.

Sang pemilik hati telah pergi, membawa separuh jiwa menghancurkan hati, meninggalkan beribu duka tak terobati. Dialah Tama, suami tercinta penyempurna hidupnya.

Rini hancur sehancurnya saat dua pilihan menentukan dua kehidupan. Mengorbankan sang suami, atau mengikhlaskan anak angkatnya demi tetap berada di sisi.

Rini tidak rela itu terjadi, namun keputusan harus dipilih, hingga pengorbanan yang diambil, memaksanya merelakan sang suami.
Satu hal yang menyebabkan ini terjadi, Dande.

Jika saja malam itu Dande tidak collabse, Tama tidak akan kebut-kebutan menuju rumah sakit, yang akhirnya membuat Tama kecelakaan, dan begitu egoisnya keluarga Erlangga mengiyakan perkataan Tama agar paru-parunya untuk Dande, dan itu tanpa persetujuan Rini, sungguh licik mereka memanfaatkan kesempatan.

Sekarang, hampa melingkupi hidup Rini, membiarkan serpihan luka mengoyak kebahagiaan yang dia bangun bersama keluarga kecilnya.   

Andai saja Rini membuang Dande dari dulu, hidupnya tidak akan sehancur ini. Sungguh menyesal rasanya membiarkan sumber malapetaka hidup di tengah keluarganya. Hanya bisa berandai-andai meratapi nasib tidak berpihak padanya.

”Kenapa … hiks tinggalin aku secepat ini, Mas? Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Mas!” isak tangis menyatu dengan dentuman hujan, berlomba-lomba menyuarakan siapa yang lantang bersuara.

Rini berdiri, menatap sendu kaca balkon menampilkan hujan deras. ”YA TUHAN! KENAPA KAU BEGITU TIDAK ADIL KEPADAKU? KENAPA SELALU PENDERITAAN KAU BERIKAN?! KENAPA?!

Namun, tidak ada tempat untuk Rini menyuarakan ketidakadilan, semesta pun ikut menentang kegundahannya. Melucutinya dengan kilatan petir, menjawabnya dengan pekikan langit yang memekakkan.

Tidak ada lagi yang tersisa dalam diri Rini, hanya benci dan dendam melingkupi jiwanya. 

🌼🌼🌼

Satu kata mewakili penglihatan Dande, indah. Ya, indah. Sewaktu ia membuka mata, ia sedang berbaring di tengah padang bunga warna-warni. Sejauh mata memandang hanya kesejukan yang ia lihat.

Ada satu bunga menarik perhatian Dande, yaitu bunga bulat dan bisa terbang di angkasa saat tertiup angin sepoi-sepoi.

Ketika berjongkok ingin mengambil bunga itu, tiba-tiba sosok tubuh tinggi berdiri di depannya. Dande mendongak  dan langsung berhamburan ke pelukan orang di depannya.

“Papi … hiks,” Dande menangis tersedu-sedu di pelukan papinya, Tama.
Entah kenapa air matanya jatuh begitu saja, rasanya rindu dan takut datang tanpa permisi.

Tama tersenyum, menggendong Dande ala koala. Membenamkan wajah imut anak bungsunya dalam dekapan.

“Adek tahu ini bunga apa?” tunjuk Tama ke arah serpihan bunga berwarna putih melayang-melayang di dekat mereka.
Dande menyembulkan wajahnya, penasaran arah tunjuk Tama. ”Nggak tahu,” gelengnya.

“Bunga Dandelion,” ucap Tama.

“Mirip nama Adek!”

Tama menengadahkan tangan kirinya, menampung serpihan bunga Dandelion, sementara tangan kanannya menopang tubuh si bungsu.

“Adek lihat, walaupun dia tampak lemah dan tidak cantik …,” jeda Tama, menjatuhkan bunga itu ke bawah. “tapi dia bunga terkuat,” sambungnya, mendapat respon bingung Dande.

“Kok bisa, Pi? Tapi bunganya terbang-terbang kalau ditiup angin,” celetuk Dande tidak percaya.

“Tidak ada kata tidak bisa di dalam hidup. Lihatlah bunga itu, dia menerjang angin di angkasa tanpa ada yang menghalanginya, dan akhirnya tumbuhlah bunga-bunga baru di tempat manapun,” jelas Tama memperlihatkan serpihan bunga Dandelion terbang ke sana-kemari.

Dande berbinar mendengar penjelasan Tama, tidak menyangka bunga yang tampak biasa saja dan lemah, bisa sekuat itu.

“Wah keren, Pi. Adek ingin seperti bunga Dandelion!” seru Dande.

Tama menurunkan Dande dari gendongannya, merendah tubuhnya, menyesuaikan tinggi sang anak. ”Adek mau berjanji sama Papi, harus menjadi anak yang kuat dan pantang menyerah?” ucapnya serius.

Dande mengangguk cepat. “Adek janji menjadi anak yang kuat,” jawabnya sungguh-sungguh.

Tama tersenyum sambil mengusap ke pala Dande. “Pintarnya anak Papi. Sekarang Papi bisa pergi dengan tenang.”

Dande mengerutkan kening, bingung terhadap ucapan Tama. “Papi mau kemana? Adek ikut.”

Tama menggeleng, mengusap pipi mulus Dande. ”Papi mau pergi jauh, jauh banget. Jaga Mami, ya?”

”Kok Papi gitu?”

Dande baru sadar, ia dan papinya menggunakan baju serba putih, dan tidak habis pikir, tempat mereka berada adalah tempat ia selama tidak sadarkan diri dulu. Tapi kenapa papinya juga di sini? Dan kenapa papinya bilang mau pergi jauh?

”Karena tugas Papi sudah selesai, Papi akan pulang ke tempat sesungguhnya,” jawab Tama memaksakan senyuman.

”Adek ikut, Pi,” pinta Dande memegang tangan Tama.

Tama melepaskan secara lembut pegangan Dande. “Adek masih ada tugas, belum bisa ikut Papi. Nanti, jika memang waktunya, Papi janji akan jemput Adek.”

Dande menggeleng brutal, berusaha menjangkau Tama yang melangkah menjahuinya. Tangis keras Dande tak mampu membuat Tama berbalik, terus melangkah sampai silaunya cahaya menenggelamkan Dande.




TBC

Dandelion || Last Destiny [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang