Torehlah sejarah selagi ada kesempatan
Karena kesempatan kedua mungkin saja tidak akan ada kembali untuk selama-lamanya
***
Pepatah don't judge a book by its cover adalah istilah yang sudah diketahui oleh sejuta umat. Melihat seseorang atau sesuatu bukan hanya dari luarnya saja, melainkan juga mencoba untuk melihat atau memahami lebih dalam dari objek tersebut. Menggunakan lebih dari satu perspektif, dan tidak serta menghakimi hanya dengan dasar apa yang terlihat oleh mata.
Ya, setidaknya seperti itu pemahaman singkatnya!
Dalam dunia psikologi sosial, ada yang namanya perilaku terbuka dan tertutup, yang mana dengan sederhana bisa diartikan sebagai perilaku yang memiliki makna eksplisit maupun implisit.
Melihat seseorang berlari, orang mungkin akan menganggap bahwa orang tersebut sedang berolahraga. But the other side, who knows jika ternyata orang itu sebenarnya sedang ketakutan? dan sayangnya, kerap kali hal-hal semacam ini sering membuat bingung seseorang.
Salah mempersepsikan apa yang sedang dialami seseorang hingga berakhir dengan mengalami hal yang justru hanya akan menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman. Yeah, at least that's the point!
"Gila capeknya!" Dila berujar pada dirinya sendiri sembari menyelonjorkan kedua kaki. Pulang dari penerbitan selepas maghrib, membuat badannya pegal-pegal dan memutuskan untuk tidur sebentar. Namun alih-alih bertahan lama, dia justru terbangun sekitar pukul sepuluh karena ada panggilan telepon dari Rayhan yang tak kunjung pulang.
Daripada memilih melanjutkan tidur, dia akhirnya memutuskan untuk sedikit berolahraga karena tubuhnya belakangan menjadi sangat mudah lelah.
Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba dia mendadak sangat bersemangat olahraga sehingga di tengah malam seperti ini memutuskan untuk workout karena memang sudah lama tidak melakukannya.
Dila mengatur nafasnya yang tidak beraturan, melirik jam weker yang ada di atas meja kamarnya yang menunjukkan pukul setengah dua belas malam, lalu memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur untuk mengisi ulang gelasnya yang sudah kosong.
Tanpa ragu dia berjalan ke luar kamar, menuruni tangga, dan berbelok ke arah kiri menuju pintu kulkas. "Akhirnya," Dila menggumam lega setelah meneguk air dingin yang baru dituangkannya dari botol ke dalam gelas.
Baru saja berbalik, matanya hampir keluar setelah melihat keberadaan seseorang yang sudah tepat berada di depannya.
"Mbak Dil..." Juna berujar pelan sembari meneguk ludahnya. Langkahnya terus maju dan membuat Dila mulai berjalan mundur. Dia tidak tahu apa yang salah dalam dirinya, tapi yang jelas kali ini tatapan yang ditunjukkan oleh sahabat Gavin ini jauh berbeda ketimbang biasanya.
"Sial!" Dila mengumpat pelan saat punggungnya sudah menabrak dinding.
Dipikirannya sekarang dirinya mungkin sudah gila. Jantungnya tiba-tiba bertalu-talu tidak normal hanya karena berada sedekat itu dengan Juna, yang kali ini bahkan hanya mengenakan kaos hitam polos yang melekat pada tubuh. Dan ya, rambutnya juga acak-acakan khas bangun tidur, yang sialnya malah benar-benar kelihatan menggoda dan penuh pesona.
"Gila lo, Dil!" Makinya pada diri sendiri.
Dila menggelengkan kepala sembari memejamkan mata. Berusaha mengembalikan pikiran warasnya yang mulai menggila dan berpetualang kemana-mana. Dia harus mengendalikan diri karena sudah menjadi gila di tengah malam seperti ini.
Dila mengambil napas dan menghembuskannya secara perlahan. Lalu masih dengan mata terpejam, dia berdoa agar seorang Arjuna Dewantara dapat sedikit mundur dari posisinya terakhir kali agar dia bisa bernapas sedikit lega. Namun alih-alih harapannya terwujud, tepat setelah dia membuka mata rasa kagetnya justru semakin menjadi-jadi karena wajah Juna sudah tepat berada di depannya. Benar-benar dekat hingga dia bisa mendengar deru nafasnya yang naik turun.
Dila menahan napas. Tanpa alasan yang jelas, hal tersebut langsung otomatis dilakukannya ketika menghadapi situasi ini. Yang ia tahu, suara hembusan nafas Juna yang dapat dirasakan oleh kulit pipinya yang sensitif benar-benar membuatnya menggila. Dan dengan lebih gilanya lagi dia malah berpikiran bahwa akan terjadi sesuatu seperti dalam kisah-kisah romansa yang biasa ia baca.
Arjuna mencondongkan tubuhnya tiba-tiba, lalu meletakkan tangan kirinya di dinding untuk menopang berat tubuhnya. Refleks Dila kembali memejamkan mata karena saat ini posisi mereka terlalu dekat dengan Juna yang mengungkung tubuhnya.
Juna terlihat tersenyum penuh makna melihat respon tubuh wanita di depannya. Lalu secara perlahan dia mulai membelai pipi Dila yang membuat si-empunya panas dingin tidak karuan. "Berharap di cium Mbak, hm?" suara Juna berhasil mengembalikan kesadaran Dila ke alam nyata.
Dia kontan membuka matanya, dan menemukan lelaki di depannya sedang tersenyum menggoda yang di mata Dila amat sangat menyebalkan. Apalagi dia masih tidak menyangka bahwa otaknya malah berpikiran yang sama seperti apa yang baru saja di utarakan Juna.
Dila menghempaskan tangan kanan Juna dari pipinya. Lalu berniat langsung kembali ke kamar tanpa mengindahkan pertanyaannya barusan.
Otaknya tiba-tiba menjadi blank dan dia tidak bisa memikirkan alasan apapun. Jadi daripada yang tidak-tidak keluar dari dalam mulutnya yang kadang tidak bisa dikendalikan, dia lebih memilih untuk menghindar dan memikirkan hal lainnya nanti ketika sudah sedikit bernapas lega. "Ayo, Dil!" Ucapnya pada diri sendiri — di dalam hati.
Juna mundur selangkah tepat setelah Dila menghempaskan tubuhnya. Namun alih-alih pergi, dia justru menyedekapkan kedua tangannya dan mengamati gerak-gerak perempuan di depannya yang bersiap melarikan diri.
Dila hanya menoleh sekilas ke arah Juna yang juga sedang menatapnya, dan berjalan melewatinya untuk kembali ke dalam kamarnya yang ada di lantai dua. Namun baru juga satu langkah berjalan, tangannya tiba-tiba ditarik sehingga membuat mereka malah menjadi berpelukan. "Lain kali jangan pake baju kaya gini Mbak kalo keluar kamar. Karena kalo itu orang lain, gue nggak bakal rela." Ucapnya tepat di samping telinga Dila yang membuat bulu kuduknya langsung berdiri, merinding.
Jujur dia tidak tau maksud perkataannya, karena yang menjadi fokusnya sekarang adalah posisi mereka yang sedang berpelukan.
"Sadar, Dil! Doi adik temen lo." Lagi-lagi dia mengingatkan dirinya sendiri tentang siapa itu Arjuna. Hanya teman Gavin yang sudah seperti keluarganya sendiri karena terlalu sering menginap di rumahnya dibanding rumahnya sendiri.
Dapat Dila rasakan Juna barusaja menarik napas panjang. "Beruntung gue bisa tahan Mbak, karena tadi aja gue hampir kelepasan." Lanjutnya sembari membelai rambut Dila, dan melepaskan diri lalu berbalik pergi begitu saja, tanpa penjelasan apa-apa sama sekali.
Dila mematung seketika. Apa itu barusan? apa dia baru saja ditinggalkan tanpa kejelasan setelah dipeluk dan di belai pipi serta rambutnya? apa dia baru saja di lecehkan? pikirannya sudah kemana-mana karena bocah sialan yang kini sudah tidak terlihat. Sudah balik ke kamar saudara laki-lakinya.
Dia memukul kepalanya pelan agar kembali tersadar dari kekagetannya yang berkepanjangan. Lalu mencoba memikirkan maksud dari perkataan Juna, hingga rasa dingin mulai menyapa tubuhnya.
Matanya membulat sempurna, lalu menunduk untuk melihat apa yang dipakainya sekarang. "Mamaaa... hilangkan Dila sekarang dan kembalikan tahun depan!" Teriakan batinnya saat menyadari bahwa dirinya hanya memakai bra sport dan celana super pendek yang sudah kumal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong
Random"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yang kini sedang berdiri bersandar di samping kulkas dan menatap ke arahnya. Tak menanggapi dengan perk...