"Udah pulang, mbak?" Gavin menoleh sebentar ke arah pintu di mana kakak perempuan dan sahabatnya baru maasuk. Tak repot menunggu jawaban, dia kembali fokus ke arah layar di depannya yang sedang menampilkan permainan.
"Yang lain pada di mana, Gav?" Juna bertanya karena tak menemukan keberadaan dua temannya yang lain. Mereka memang mampir ke rumah Gavin bertiga, tetapi setelah ditinggal menjemput Dila dia hanya menemukan si pemilik rumah seorang.
"Balik." Jawabnya cuek.
Juna pun mengangguk. Tak mau mengambil pusing kedua temannya yang sudah pulang.
"Lo mau langsung balik juga?"
"Lo ngusir gue?"
Gavin menoleh sekilas, lalu mendengkus. "Gue cuma nanya, bukan ngusir."
"Lebay banget deh!"
"Mba masuk dulu ya," tak berniat menginterupsi obrolan Gavin dan Juna, Dila memilih berpamitan. Dia masih terlibat kecanggungan dengan Juna, dan ingin cepat-cepat menghindar dari hadapannya.
Juna menoleh ke arah Dila. Lalu menoleh ke arah Gavin yang maish fokus dengan kegiatannya, sebelum akhirnya tersenyum karena merasa bahwa situasinya aman.
Cup.
Dengan berani, Juna menempelkan bibirnya di pipi Dila. Memberikan kecupan singkat sebagai bentuk perpisahan, yang justru dihadiahi pelototan mata dari sang pacar."Ciuman perpisahan, Dil." Ujarnya pelan. Tidak ingin menarik perhatian Gavin yang masih berada satu ruangan dengan mereka.
"Kurang lama ya?" bukannya meminta maaf, Juna malah kembali berujar. Meledek Dila dengan menanyakan apakah ciuman yang diberikannya itu masih kurang. Menurutnya wajah kesal Dila sangat menggemaskan, jadi dia senang ketika melihatnya.
"Jun," panggil Dila geram. Tidak menyangka bahwa pacar berondongnya akan seberani itu, padahal Gavin masih berada di tengah-tengah mereka.
"Dalem, Dil." Masih dengan wajah bahagianya, Juna menimpali. Bahkan kedua sudut bibirnya melebar, tanda bahwa dia tersenyum di sela-sela panggilan yang diberikan Dila. "Kenapa panggil-panggil sayang?"
Juna cukup heran dengan dirinya sendiri. Selama ini dia tak pernah bersikap seperti itu ketika sedang bersama pacar-pacarnya. Namun saat besama Dila, semuanya terasa berbeda. Dia merasa bertingkah aneh dan konyol.
Apa jatuh cinta beneran bisa merubah orang?
"Kalo belum mau balik, sini main sama gue." Suara Gavin berhasil mengalihkan atensi keduanya. Juna yang tak ingin kena marah pacarnya pun segera memanfaatkan situasi. Cepat-cepat berjalan ke arah Gavin dan menuruti apa yang dia minta.
Sedangkan Dila? dia hanya bisa mendengkus. Lalu perlahan jalan menjauh untuk menuju ke kamarnya.
***
"Jun," di tengah-tengah permainan mereka, Gavin memanggil Juna.
"Hm," jawab Juna cuek. Dia masih fokus dengan permainan, jadi tidak terlalu peduli dengan panggilan Gavin barusan.
"Tadi Mba Dila gimana?"
Mendengar nama Dila disebut, kini Juna fokus dengan laki-laki di sampingnya. Permainannya sudah tak menarik, sebab dia menemukan obrolan baru yang jauh lebih menarik. "Gimana apanya?"
"Menurut lo dia masih sedih gak?'
"Setelah putus dari Mas Rayhan," Juna memilih diam karena tahu masih ada banyak hal yang ingin disampaikan Gavin. "Mbak Dila kelihatan suka ngelamun. Sering diem tiba-tiba, terus nangis."
"Cuma beberapa hari ini gue perhatiin, dia udah balik jadi kaya Mba Dila yang dulu. Udah kelihatan happy juga."
Juna mengangguk-angguk. Dari yang dia amati, memang ada perubahan signifikan pada Dila ketika baru putus. Namun yang dikatakan Gavin juga benar, bahwa dia sudah mulai kembali seperti Dila yang dulu.
"Gue takut kalau dia cuma nyembunyiin kesedihannya dari gue, supaya gue gak khawatir. Makanya gue nanyain lo, menurut pandangan lo gimana?"
Meski cuek, Gavin adalah orang yang senang memerhatikan orang lain. Kepeduliannya tak selalu dia sampaikan dengan kata-kata, tetapi selalu dia buktikan melalui tindakan-tindakannya. Dia tipe yang talk less do more.
"Gue sependapat sama lo," Juna menanggapi ceriya yang diberikan Gavin. "Gue juga setuju sama pandangan lo barusan, Gav"
"Dila ... maksud gue Mba Dila," hampir saja Juna keceplosan. "Kayaknya emang udah sembuh dari rasa sakit hatinya."
"Dia udah balik ceria, udah balik suka marah-marah juga. Nggak suka diem-diem lagi." Juna menyunggingkan senyum ketika mengingat ekspresi wajah Dila ketika dia menciumnya. Dila sudah siap memarahinya, yang menandakan bahwa dia sudah kembali menjadi Dila yang normal, sebab sering marah-marah dengannya.
Gavin mengangguk. "Syukur deh. Dari kemarin gue ikut sedih ngelihatnya."
"Gue tau betul secinta apa dia sama Mas Rayhan. Jadi pasti rasanya sakit banget buat nerima kenyataan kalau dia di khianatin."
Meski apa yang dikatakan Gavin benar, Juna merasa tidak senang mendengarnya. Baginya sekarang, Dila sudah tak punya perasaan apa-apa dengan Rayhan, dan dia tidak ingin orang mengungkit-ungkitnya lagi.
"Gue mau ngomong serius deh, Gav."
Mendengar perkataan Juna, Gavin menoleh. Dahinya mengernyit heran, sebab merasa aneh dengan perkataan sahabatnya itu. "Kenapa?"
"Kalau gue deketin kakak lo gimana?" tanyanya to the point.
"Lo bercanda?"
Juna menggeleng. "Gue serius."
"Gue udah tau jawaban dari pertanyaan lo tempo lalu."
"Pertanyaan yang mana?"
"Pertanyaan tentang apakah gue beneran suka sama Mba Dila apa nggak." Juna teringat dengan perkataan Gavin saat di dapur. Pertanyaan yang belum sempat dijawabnya, sebab waktu itu dia masih bimbang dengan perasaannya. Apalagi waktu itu Dila juga masih punya pacar, dan tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan putus.
"Gue beneran suka sama mba lo, dan kayaknya udah sampai ke taraf cinta."
"Gue udah make sure ke diri gue sendiri, dan gue yakin kalau perasaan gue buka sekedar rasa penasaran semata." Jelas Juna. Mencoba meyakinkan Gavin bahwa apa yang dia katakan itu sepenuhnya benar.
Gavin masih diam. Membuat Juna sedikit khawatir akan ditolak. Gavin adalah adik kesayangan Dila, dan Dila pasti akan memilih mundur jika adiknya tidak menyetujui hubungan mereka.
"Lo sakit, Jun?"
"Gue serius, Gav." Sanggahnya cepat. Tak suka dengan respon Gavin yang tidak percaya dengannya. "Gue beneran cinta sama mbak lo. Tolong restuin gue ya?"
Gavin semakin dibuat bingung dengan sikap Juna. Dia tau bagaimana sahabatnya itu, tetapi dia juga tau bagaimana sifat kakaknya.
"Percuma juga kalau gue restuin lo, tapi Mba Dilanya gak mau."
"Soal Mba Dila biar gue yang atur. Yang penting lo restuin dulu gue deketin dia."
"Ya ya?" mohon Juna. Tau bahwa Gavin sangat tidak suka jika dia menampilkan ekspresi manja yang menurutnya justru menjijikan.
"Geli anjir." Gavin mendorong wajah Juna yang mendekat ke wajahnya. "Terserah lo aja."
"Asal Mba Dilanya mau, ya gue gak bisa apa-apa."
"Cuma lo harus inget, sekali lo udah maju maka lo udah gak bisa main-main lagi." Nasehatnya pada sahabatnya itu. "Kalau lo sampe berani macem-macem, gue yang bakal hajar lo sampe mampus." Ancamnya kemudian.
Juna hanya mengangguk. Meski Gavin menyeramkan, dia tidak akan takut. Yang penting restu sudah di tangan, jadi dia tinggal membujuk Dila untuk mempublikasikan hubungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong
Random"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yang kini sedang berdiri bersandar di samping kulkas dan menatap ke arahnya. Tak menanggapi dengan perk...