Olahraga tuh tujuannya bakar apa sih? memori ya?
Dila membubuhkan caption pada status Instagram. Dia mengambil foto kedua kakinya, lengkap dengan sepatu sport dan botol minum yang ada di sebelahnya.
Dari artikel yang pernah dia baca, olahraga akan mendorong tubuh mengeluarkan lebih banyak hormon endorfin. Ini adalah hormon yang memicu rasa bahagia, which means bahwa olahraga adalah kegiatan yang baik dilakukan ketika galau tiba.
"Mending capek olahraga daripada capek menyesali masa lalu gak sih," Orang pertama yang me reply storynya adalah Juna. Dia juga orang pertama yang melihat dan memberikan reaksi berupa emoticon love.
"Ini bocah beneran demen sama gue kah?" Dila bergumam pada dirinya sendiri. Melihat bagaimana gencarnya dia mencari perhatian dengannya, Dila rasa temannya Gavin itu benar-benar tertarik padanya.
"Belajar sana, jangan malah main ig." Ini bukan weekend dan masih jam kerja. Pastilah Arjuna masih di sekolah, tetapi bisa-bisanya malah mengomentari statusnya.
"Lagi jam kosong, Mbak. Makanya cari hiburan."
"Mbak Dila gak kerja?" bubble chatnya kembali muncul.
Dila menyelonjorkan kaki sebelum membalas pesannya. "Ambil cuti."
Memang benar bahwa Dila mengambil cuti tahunannya. Selama ini dia tidak pernah menggunakannya, makanya bosnya tak melarang meski dia mengambil cuti di hari yang sebenarnya sedang cukup sibuk.
"Abis olahraga ke mana, Mbak?"
"Nongkrong kayaknya. Pengen kopi." Sejak putus, dia merasa bebas untuk membalas pesan dari Juna. Bukannya berniat memberi harapan, hanya berpikir bahwa tidak ada yang salah berbalas dengan dengan bocah itu. Toh sekarang keduanya juga jomblo, jadi dia tak perlu merasa bersalah.
"Mau gue rekomendasiin tempat ngopi yang enak gak?"
"Boleh." Dila bukan perempuan yang hobi nongkrong. Referensinya mengenai coffee shop tidak cukup banyak. Apalagi saat pergi bersama teman-temannya, dia akan menjadi yes girl yang tidak protes dibawa nongkrong di mana saja.
"Ada namanya perspektif coffee, Mbak. Lo search aja." Juna terlihat masih mengetik. Entah apalagi yang akan dituliskannya itu. "Nggak jauh dari rumah, Mbak. Tempatnya cozy juga, dan yang paling penting ..." Dia seolah sengaja memotong kalimatnya untuk membuat Dila penasaran.
Dila menunggu pesan lanjutan dari Juna. Namun setelah ditunggu beberapa saat, tak kunjung ada pesan baru yang masuk. "Yang paling penting apa, Jun?" dia akhirnya bertanya langsung. Menurutnya informasi dari Juna sedikit nanggung, dan dia sudah terlanjur penasaran.
"Barista nya cakep wkwk."
Dila mendengkus. "Info yang sangat tidak penting."
"Penting tau loh, Mbak," jawabnya tak mau kalah.
Dila sebenarnya cukup penasaran. Setampan apa barista yang ada di sana, sebab berhasil membuat seorang Arjuna yang tingkat kepedeannya sangat tinggi mau mengakuinya. "Ya ntar gue buktiin ya. Awas aja kalau gak cakep, gue tuntut ganti rugi ya."
"Wkwk siaplah, Mbak."
"Gue kasih garansi," Juna mengetik dengan penuh keyakinan. "Kalau lo gak puas, gue bakal traktir lo minum kopi."
Dari informasi yang Dila terima dari Gavin, Juna ini hidup sendirian. Orang tuanya bekerja di luar kota, makanya dia bebas pergi di jam berapa saja. Pantas bahwa pengetahuannya tentang tempat nongkrong ada banyak.
"Perginya agak sorean ya, Mbak. Soalnya dia baru shift sore." Dila tak membalas lagi pesan dari Juna. Dia hanya mengintipnya sedikit dari layar notifikasi, sebelum akhirnya kembali untuk melanjutkan olahraganya.
***
Dila memoles wajahnya di depan cermin. Entah dorongan dari mana, dia mengikuti apa yang dikatakan oleh Juna. Pergi ke perspektif coffee di jam lima sore.
Sebenarnya dia tidak berniat untuk melihat barista tampan seperti kata Juna. Namun memang sejak tadi dia memilih untuk bersih-bersih kamar, dan baru selesai ketika adzan ashar berkumandang. Makanya dia baru bisa ke luar di sore menjelang petang seperti ini. "Gav, gue pergi dulu ya." Dila berpamitan pada Gavin yang ada di dalam kamar. Entah apa yang bocah itu lakukan, sejak sepulang sekolah dia belum juga keluar.
Hubungan Dila dan Gavin sudah membaik. Dia sudah meminta maaf perihal dia yang merokok, dan Dila juga sudah memaafkannya. Dia hanya memintanya untuk lebih mencintai dirinya sendiri, dan juga rutin membelikannya snack agar dia tak kehabisan stock. Dila masih menjalankan misi, tetapi secara diam-diam.
"Kemana, Mbak?"
"Kafe, mau ngopi bentar." Jawab Dila dari balik pintu. Memang dia tidak masuk, hanya sedikit membuka pintu kamar.
"Oke, hati-hati ya."
"Baliknya gue bawain ya." Tambahnya sembari meringis. Langsung diangguki oleh Dila karena tanpa Gavin meminta pun, dia sudah berniat untuk membawakannya.
Dila memandang papan menu yang tertempel di dinding atas kasir. Tanpa menoleh ke arah kasir yang merangkap sebagai barista ini, Dila berujar "Mas, caramel macchiato large nya satu ya."
Orang yang diajaknya bicara itu pun tersenyum. "Siap, Mbakku sayang. Caramel macchiato large special siap meluncur."
Mendengar tanggapan yang tidak biasa itu, Dila mendongak. Matanya membulat sempurna saat melihat siapa sosok yang ada di depannya.
"Infonya trusted kan, mbak?" ujar Juna sembari menaik turunkan alis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong
Random"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yang kini sedang berdiri bersandar di samping kulkas dan menatap ke arahnya. Tak menanggapi dengan perk...