Bagian 10

954 75 0
                                    

Jangan lupa komen!

Dila melirik tajam ke arah laki-laki yang kini sedang duduk diam di hadapannya. Bukannya pulang setelah mengantarnya pulang, Arjuna justru ikut masuk dan duduk tenang di ruang keluarganya. Seperti rumah sendiri, karena dia bahkan tak minta izinnya sama sekali.

"Lo nggak balik?" tanya Dila setelah memberikan satu gelas air putih pada Juna. Meski bukan dia yang menyuruh untuk mampir, dia tetap memperlakukan Juna dengan baik. Hitung-hitung sekalian bentuk ucapan terima kasih karena sudah diantar pulang.

Juna yang sedang asyik bermain ponsel mendongak, lalu meletakkan ponselnya dan memberikan seluruh atensinya pada Dila. "Nggak ah, Mbak. Mau main di sini aja,:

"Boleh kan?" lanjutnya menambahkan.

Dila hanya mengedikkan bahu. "Serah."

"Gavin belum bangun, Mbak?"

"Belum." Dila sempat melongok ke kamar Gavin yang kebetulan tidak dikunci, dan menemukannya yang memang masih bergelung manis dengan selimut dan bantal gulingnya.

"Sana bangunin aja, Jun." Suruh Dila pada Juna. Pasalnya sekarang sudah hampir tengah hari, tapi adik laki-laki satu-satunya itu belum terbangun dari mimpi.

Juna menggeleng, "Nggak mau ah." Ujarnya enteng.

Dila mengernyitkan dahi. "Terus lo mau ngapain di sini kalau gak mau bangunin Gavin?"

"Gue ke sini kan emang bukan mau ketemu Gavin, Mbak."

"Lah terus?" tanyanya bingung.

"Gue emang mau ngabisin waktu bareng lo."

Krik. Krik.

Dila langsung mati kutu dibuatnya. Tiba-tiba otaknya ngeblank, dan tidak memiliki jawaban untuk menanggapi pertanyaan Juna. "Gue gak ada waktu buat lo." Meski jantungnya sedikit dag dig dug, Dila bisa menanggapi pernyataan spontan Juna dengan cukup tenang. Dia harus menjaga harga dirinya dengan stay cool meski mendapatkan kalimat-kalimat tak terduga dari bocah macam Arjuna.

"Gue beneran gak ada kesempatan ya, Mbak?" tiba-tiba Juna menegakkan tubuhnya. Lalu bertanya mengenai kesempatan, yang mana Dila dan Juna sama-sama tau ke arah mana maksudnya.

"Gue gak tau," Bukannya berniat mengkhianati Rayhan atau bagaimana, Dila hanya tidak ingin membohongi dirinya sendiri. Entah mulai kapan, dia mulai merasa ada yang berbeda dengan hubungannya dengan Rayhan.

Dia tidak tahu apakah ada hubungannya dengan Juna yang mulai terang-terangan mengatakan bahwa menyukainya, atau justru karena kesibukan-kesibukan Rayhan yang membuat mereka sulit untuk quality time bersama.

"Lo tau kan gue pacar Rayhan?" Juna mengangguk.

Tiba-tiba Dila merasa pening. Bisa-bisanya dia terlibat percakapan seperti ini dengan seorang laki-laki, padahal dia sendiri sudah punya pasangan. Apa ini tidak terlalu beresiko?

"Kan baru pacaran, Mbak."

"Lo belum dilamar kan?" lanjutnya membuat Dila terbungkam.

Meski sudah berpacaran cukup lama, Rayhan tak pernah menyinggung soal hubungan mereka. Memang pernah sesekali, tapi itu sudah berlalu begitu lama. Padahal mereka sudah sama-sama dewasa, sudah sama-sama memiliki pekerjaan, dan mungkin bahkan sudah sama-sama siap untuk membangun rumah tangga.

"Kepo."

Juna tersenyum. Entah senyum yang menandakan apa, yang jelas perasaan Dila amat tidak tenang ketika melihatnya.

"Gue mau nanya deh, Mbak."

"Apa?" respon Dila langsung.

"Lo mending nunggu cowok yang lo suka tapi dia belum ngasih kepastian, atau nerima cowok yang suka lo dan langsung nawarin kepastian?"

Dila cukup kaget dengan pertanyaan Juna. Bisa-bisanya pertanyaan semacam ini keluar dari mulutnya, padahal dia masih anak SMA yang belum tau dunia orang dewasa. "Depends,"

"On?"

"Guenya, udah siap apa belum."

Dila mengambil napas. "Kalau misalnya gue emang udah siap nikah, gue mungkin bakal pilih yang udah ngasih kepastian. Tapi gue bakal nanya dulu ke cowok gue, siapa tau dia juga oke."

"Jadi bisa dapet dua-duanya kan?" lanjutnya sembari tersenyum.

Kontan bahu Juna melemas. Perempuan di hadapannya benar-benar tau bagaimana memadamkan api semangatnya. "Kalau sekarang, lo udah siap belum kalo diseriusin?

My Sweet BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang