Extra Part

1.2K 55 4
                                    

"Lo cantik banget, Kak." Gavin menghampiri Dila dengan semangat. Dia bahkan menatap kagum kakak perempuannya yang hari ini terlihat sangat cantik.

"Udah siap?" tanyanya. Membuat Dila yang sedari tadi gugup hanya bisa mengangguk.

"Udah mau mulai ya?" akhirnya Dila bersuara. Meski sebenarnya yang ditanyakan itu sudah bisa dia tebak sendiri jawabannya. Pasalnya Gavin tidak mungkin datang dan menjemputnya jika acaranya belum mau dimulai.

Gavin menatapke arah Dila dan tersenyum. "Udah, Kak."

"Nggak udah khawatir, semuanya pasti bakal baik-baik aja." Lanjutnya menenangkan. Dia tahu kakaknya sedang gugup karena wajahnya terlihat tegang. "Ayo!"

Sebelum melangkah keluar seperti yang diinginkan Gavin, Dila menghela napas berkali-kali untuk meredakan kegugupan. Menyadari kelakuan kakaknya itu pun Gavin akhirnya meraih tangan Dila dan menggandengnya. Menuntunnya berjalan ke ruang tengah, sekaligus mengumamkan beberapa kalimat penenang yang mungkin bisa meminimalisir rasa gugup Dila.

"Denger nggak?" tiba-tiba Gavin bertanya. Membuat Dila yang ada di sampingnya menoleh dan menatap bingung.

"Suara detak jantung lo, Mbak." Lalu dia tertawa. Ternyata sedang melemparkan candaan untuk menghangatkan suasana, tetapi tidak ditangkap seperti itu oleh Dila. Candaannya terlalu garing hingga membuat Dila tidak paham bahwa adiknya itu sedang melempar joke.

"Sori-sori kalau nggak lucu." Gavin meminta maaf. Padahal bagi dirinya, jawaban yang dia berikan atas pertanyaannya sendiri sudah cukup lucu. Namun daripada bersikekeh dengan pendapatnya, dia lebih memilih untuk meminta maaf. Apalagi saat ini acara penting kakaknya, dan dia tidak ingin berbuat ulah.

Kebetulan sekali Dila ingin acaranya lebih sakral jadi dibuat semi privat dengan sedikit orang yang mereka undang. Makanya acara juga bisa dilangsungkan dikediaman Adyaksa tanpa perlu repot-repot menyewa gedung. Meski untuk acara perayaannya akan dibuat jauh lebih besar dan megah.

"Gue gugup banget, Gav." AKhirnya Dila berterus terang. Keberadaan orang-orang sudah terlihat di depan matanya dan rasa gugupnya semakin besar.

"Apa dibatalin aja nikahnya?" untuk kedua kalinya, candaan Gavin tidak ditangkap oleh Dila. Dia melontarkan kalimat itu dengan tujuan yang sama seperti sebelumnya, tetapi ditangkap berbeda oleh Dila. Makanya tawanya seketika berhenti karena lagi-lagi hanya dia seorang yang merasa bahwa candaannya layak untuk ditertawakan.

"Heh. Sembarangan!"

"Bercanda, Mbak."

"Udah lo gak usah deg-degan, everithing will be fine. Lo cukup duduk aja, dan biarkan Juna yang ngelakuin semuanya." Kalimat terkahir yang Gavin lontarkan karena setelahnya mereka berdua sudah sampai di ruang tengah.

Dila digiring untuk duduk di samping Juna. Mereka saling pandang sebelum akhirnya Gavin berdehem hingga membuat keduanya memutus kontak mata mereka, lantaran malu karena tertangkap basah telah menganggap dunia hanya milik berdua. 

"Sabar dulu, Jun." Gumam Gavin sembari terkikik. Membuat wajah Juna dan Dila bersemu kemerahan.

"Siap?"

Juna mengangguk lalu menjabat tangan Gavin. Sebagai satu-satunya saudara laki-laki Dila, dia lah yang akhirnya menjadi wali nikah perempuan itu sebab baik kakek maupun kakek buyutnya sudah tidak ada. 

Dengan wajah tegang, meski sudah latihan ijab kabul semalaman, Juna menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Lalu menatap ke arah Gavin dan mendengarkan dengan seksama setiap untaian kalimat yang diucapkan oleh sahabatnya itu, yang sebentar lagi akan berubah status menjadi adik iparnya. Membuat versi lain dari ipar adalah maut dalam konteks yang berbeda.

"Saya terima nikah dan kawinnya Fadila binti Adyaksa dengan mas kawin sebesar lima puluh gram emas dan uang tunai sebesar seratus juta rupiah dibayar tunai!"

"Sah?"

"Sah."

"Terima kasih," Juna berujar tepat setelah mengecup kening istrinya. Perempuan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkannya akan menjadi pelabuhan terakhir dari perjalanan cintanya. "Terima kasih karena udah mau nerima aku jadi suami kamu, Ay." Bisiknya melanjutkan. Enggan sampai didengar Gavin karena adik iparnya itu pasti akan berulah. Entah meledek atau melakukan hal tidak terduga lainnya.

Dila tersenyum. Selepas tadi meneteskan air mata ketika Juna mengucap ijab kabul, kini yang tersisa adalah rasa bahagia yang kian membuncah. Dia yang selama ini menganggap tipe laki-laki idamannya adalah yang lebih tua, nyatanya justru berlabuh pada lak-laki yang seumuran dengan adik laki-laki semata wayangnya sendiri. Sebuah jalan hidup yang benar-benar tidak bisa ditebak.

"Kamu cantik banget, Ay." Pujian Juna terdengar sangat tulus di telinga Dila. Bahkan jika tidak ingat bahwa dia sedang ada di tengah-tengah acara dan di antara banyak orang, dia pasti sudah menghampur untuk memeluk laki-laki yang kini sudah sah menjadi suaminya.

"Tolong ya lihat sikon." Belum juga mengatakan apapun, Gavin benar-benar sudah berulah seperti yang dikhawatirkan Juna. Membuat sepasang muda-mudi yang sedang dilanda bahagia itu menghentikan sebentar aktivitasnya karena harus melanjutkan acara seperti yang sudah direncakan.

"Udah ya, Ay. Adik aku udah bawel tuh." Juna melirik ke arah Gavin dan terkekeh. Sedangkan yang dilirik justru mendengkus karena tidak suka dengan posisi baru yang kini sudah resmi disandangnya.

Dila menatap Juna dan mengangguk. "Iya, Mas." Mati-matian dia mengungkapkan dua kata itu. Pasalnya dia mengganti panggilan pada Juna, yang memang sehari sebelumnya sudah disepakati berdua.

Mendengar panggilan baru dari Dila, Juna rasanya ingin berteriak. Akhirnya apa yang selama ini hanya bisa dia bayangkan, kini benar-benar bisa didengarkan secara langsung.  Namun dia masih cukup waras untuk tidak melakukannya, sebab harga dirinya dan keluarga besarnya sedang dipertaruhkan.  Meski begitu, dia sudah tidak sabar untuk menunggu malam datang karena sudah punya berbagai rencana yang ingin direalisasikan.

Maaf ya kalau lewat jauh extra partnya.
Selamat membaca ...
Ditunggu vote dan komentarnya!

My Sweet BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang