Bagian 41

666 42 4
                                    


Bangun tidur hari ini terasa sangat berbeda bagi seorang Fadila. Entah karena tidur terlalu malam, kebanyakan menangis, atau justru kelelahan karena beberapa hari sebelumnya mengambil lembur. Yang jelas dia merasa bahwa tubuhnya tidak baik-baik saja. Badannya terasa pegal di sekujur tubuh, dan dia juga terserang demam.

Dila bahkan terpaksa meminta izin tidak berangkat ke kantor, sebab tubuhnya juga tidak bisa diajak kerja sama untuk berdiri. "Vin, boleh tolongin Mbak gak?" masih sambil rebahan, dia menghubungi Gavin. Semoga adiknya itu tidak memiliki kelas pagi, jadi jam setengah delapan seperti ini masih ada di rumah.

"Kenapa, Mbak?" jawabnya dari balik telepon. Mendengar tidak ada suara kasak-kusuk di sekitarnya, sepertinya bocah itu memang masih ada di rumah.

"Lo udah di kampus apa masih di rumah?"

"Masih di rumah ini, Mbak. Lagi di dapur."

"Kebetulan hari ini gue nggak ada kelas pagi." Mendengar penuturan dari Gavin membuat Dila menghela napas lega. Dia merasa bersyukur karena setidaknya dia tidak perlu bersusah payah untuk pergi ke kamar mandi sendiri.

"Kenapa? lo butuh bantuan apa?"

"Lo bisa ke kamar Mbak gak? gue lagi demam. Jadi lemes banget." Bukan bermaksud manja, hanya saja ini adalah jalan terbaik menurut Dila. Dila tidak mau memaksa diri dan berpura-pura kuat, yang sebenarnya justru hanya akan memperparah keadaannya dan semakin merepotkan Gavin.

"Gue ke atas, Mbak." Suara Gavin terdengar khawatir. Kakaknya itu jarang meminta tolong padanya ketika sakit, kecuali jika kondisinya memang mengkhawatirkan.

"Makasih ya, Vin." Ujar Dila setelah kembali ke atas ranjangnya. Dia benar-benar tidak bisa berjalan sendiri, hingga akhirnya harus dipapah Gavin ketika ingin pergi ke kamar mandi.

Gavin menghela napas. Setelah melihat kakaknya kembali nyaman dengan posisi rebahannya, dia kembali berujar. "Lo kecapean, Mbak. Dari kemarin pulang malam terus."

Dia tersenyum dan tidak mengelak dengan apa yang dikatakan adiknya itu. Toh apa yang dikatakan Gavin memang benar, dan sepenuhnya dia juga menyadarinya. "Gue kira gue gak selemah itu, Vin. Ternyata malah tumbang."

Gavin berdecak kesal. "Gue beli sarapan dulu, biar lo bisa minum obat." Bukannya menanggapi, dia malah mengatakan hal lain. "Udah izin sama orang kantor, kan?"

"Udah," jawab Dila sembari mengangguk. Meski kadang suka mengajak ribut, pada dasarnya Gavin memang bisa diandalkan. Terbukti dari situasi ini saja, dia masih bisa memikirkan bahwa Dila harus meminta izin kerja ke orang kantornya.

"Itu bye-bye fever lo udah ditempel sejak kapan?" tanya Gavin. Dila memang tidak suka hal-hal yang ribet, dan memilih untuk memasang plester penurun demam dibandingkan mengompres.

"Tadi subuh lah, abis sholat."

"Udah sana, katanya mau beliin gue sarapan." Lanjut Dila. Bukan karena keburu lapar — karena jujur nafsu makannya justru hilang, tetapi karena terlalu lelah untuk terus melanjutkan obrolan dengan Gavin.

Tanpa menolak, Gavin langsung menuruti apa kata kakaknya. Sebelum beranjak dari kamar, dia membenarkan letak selimut yang digunakan oleh Dila. "Pacar lo udah tau kalau lo sakit, Mbak?"

"Semalem lo ketemu dia kan?"

Mendengar pertanyaan dari Gavin membuat Dila kembali teringat dengan kejadian semalam. Rasanya hatinya begitu sakit, menyadari bahwa Juna yang tidak bisa datang menemuinya justru memilih untuk mengantar pulang perempuan lain.

Dila tersenyum, lalu menggeleng. "Gue nggak ngasih tau, takut dia merasa bersalah." Meski kesal, dia tetap melindungi Juna dari Gavin. Dia tidak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, sebab tau bahwa Gavin pasti akan sangat marah dibuatnya.

"Lo gak usah bilang-bilang ya? toh gue cuma demam biasa aja."

Gavin menatap Dila dengan pandangan yang sulit diartikan. "Lo beneran secinta itu sama si Juna ya?

"Hah?" tentu Dila kaget dengan pertanyaan tiba-tiba adiknya.

"Lo peduli banget sama si Juna. Nyampe nggak mau dia ngerasa bersalah kalau sampai tau lo sakit."

Apa benar yang dikatakan Gavin?
Apa gue emang sepeduli itu sama Juna?

Apa gue minta Gavin buat nggak ngasih tau Juna karena nggak mau dia ngerasa bersalah?

My Sweet BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang