Dila menatap Juna dengan mata yang penuh dengan kekecewaan. "Kenapa datang?"
"Kata kamu aku cewek mandiri, jadi harusnya kamu gak perlu repot-repot datang, kan?" lanjutnya. Berusaha menahan diri agar tidak menangis di hadapan Juna.
Dila tidak tahu apa yang dia rasakan. Entah karena teringat dengan kejadian semalam dimana dia terlihat amat menyedihkan, atau justru karena dia yang sedang sakit sehingga merasa semakin sensitif. Yang jelas sejak kemunculan Juna di dalam kamar rawat inapnya, dia langsung ingin menangis begitu saja.
Mendengar penuturan Dila, Juna terkejut. Seolah tersadar bahwa kesalahannya memang sefatal itu. Dia yang tadinya masih denial saat diberitahu Gavin, kini merasa tertampar karena melihat ekspresi kecewa Dila saat menatapnya. Keputusannya untuk mengantar Jasmine pulang memang tidak benar, sebab dia malah membiarkannya perempuannya pulang sendirian. "Nggak boleh ngomong gitu ya, Ay."
"Aku minta maaf soal yang semalam. Maafin kesalahan aku yang udah terlalu fatal ini."
"Aku salah karena nggak berpikir panjang. Aku salah karena menganggap semua akan baik-baik saja karena kamu udah terbiasa mandiri," lanjut Juna, suaranya terdengar penuh dengan penyesalan.
Dila menatap Juna dengan pandangan yang masih sama. "Kamu gak salah, aku yang terlalu perasa aja." Meski sudah meminta maaf dan terlihat menyesal, Dila belum ingin memaafkan Juna. Setiap kali dia mengingat bahwa pacarnya mengingkari janji dengannya hanya untuk mengantar pulang perempuan lain, hatinya masih sakit. Dia benci dengan perasaannya yang merasa kalah dari perempuan tersebut. Meski dia tahu, Juna tidak ada atensi ke arah yang ada di pikirannya.
"Pulang ya? aku mau istirahat."
Juna menggeleng. "Aku mau di sini."
"Kalau kamu mau tidur, gak apa-apa. Aku tunggu."
"Ada Gavin yang nungguin aku."
"Dia ada praktikum siang nanti, jadi harus ke kampus." Jawab Juna cepat. Mencoba untuk mematahkan argumen Dila yang sedang berusaha mengusirnya pergi.
"Kamu?"
Meski hanya satu kata, Juna bisa menangkap jelas maksud dari pertanyaan Dila. "Aku ambil kelas praktikum yang beda sama dia, jadi hari ini aku udah nggak ada kelas."
Dila tidak merespon. Sudut hati kecilnya merasa senang dengan fakta itu, tetapi dia tidak ingin menunjukkannya. "Oh,"
"Kalau kamu belum bisa maafin aku, setidaknya izinin aku nemenin kamu di sini ya?" Juna kembali membahas permintaannya. Dia mengerti jika Dila masih sulit untuk memaafkannya. Namun dia tidak bisa jika harus meninggalkan Dila, sebab hatinya akan semakin tidak tenang. Bahkan perjalanannya ke rumah sakit tadi juga hampir membuatnya kecelakaan karena tidak fokus dengan jalanan.
"Hm," tidak mengiyakan, tetapi Dila hanya berdehem. Lalu kemudian memiringkan tubuhnya ke arah yang berlawanan dengan Juna.
Meski diabaikan, Juna tetap merasa bersyukur. Setidaknya Dila tidak mengusirnya, dan membiarkannya untuk menunggunya di kamar. "Istirahat ya. Nanti kalau butuh apa-apa langsung bilang ke aku aja," kata Juna. Membuat Dila yang mendengarnya menahan senyum.
Anjir lah!
Masa gitu doang gue lemah.
***
"Butuh apa?" melihat Dila celingak-celinguk seperti mencari sesuatu membuat Juna langsung mendatanginya. Menanyakan kebutuhannya dengan sigap, meski dia baru tersadar dari tidurnya. Kebetulan matanya tadi sempat terpejam, sebab yang ditunggunya juga tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong
Random"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yang kini sedang berdiri bersandar di samping kulkas dan menatap ke arahnya. Tak menanggapi dengan perk...