Pacaran adalah waktu yang tepat untuk saling mengenal. Waktu terbaik untuk meyakinkan diri, apakah orang yang saat ini menjadi pasangan kita adalah yang terbaik untuk diajak menghabiskan waktu bersama di masa depan. Apakah orang tersebut memiliki visi hidup yang sama dengan kita, juga apakah kita sanggup untuk menerima segala kekurangannya dengan lapang dada.
Pada dasarnya, pacaran bukan hanya untuk bersenang-senang. Pacaran bisa dijadikan sebagai sebuah hal yang menjadi pertimbangan, apakah bisa dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius atau justru harus diakhiri. Dengan pacaran orang harusnya sudah mulai paham dengan sifat pasangannya dan memahami bagaimana dia. Apakah sesuai dengan yang kita harapkan atau tidak.
"Kemarin aku hampir dipukul Gavin, Ay." Sembari mengupas apel untuk dimakan Dila, Juna mulai bercerita. Menceritakan obrolan empat matanya dengan Gavin saat setelah dia melakukan kesalahan pada Dila.
Mendengar penuturan Juna, Dila sedikit kaget. Namun juga tidak kaget, sebab dia sudah menduga jika adiknya pasti akan melindunginya. "Kok nggak luka?" mengingat adiknya yang tergabung dalam club bela diri, harusnya masih ada bekas yang tertinggal di wajah Juna jika Gavin benar-benar melakukannya.
"Kan hampir. Ay. Nggak jadi dipukulinnya."
Dila mengangguk-angguk. "Kok nggak jadi?"
Mendengar Dila yang justru kelihatan kecewa membuat Juna kaget. "Kok kedengarannya kamu kecewa? kamu kecewa karena aku nggak jadi dipukuli Gavin?"
Dila terkekeh. "Nggak dong. Aku malah bakal marah banget sama Gavin. Masa mau bikin babak belur cowokku yang tampan ini." Dia tidak menyangka bisa berkata seperti itu. Apalagi pada Juna, yang sejak dulu tidak pernah dibayangkannya akan menjadi kekasihnya.
Sebisa mungkin Juna menahan senyumnya. Dila jarang-jarang melakukan hal seperti itu, karena biasanya itu menjadi tugasnya. Peduli setan sama harga diri, gue bakal nunjukin perasaan gue secara ugal-ugalan!
"Jangan gitu lah, Ay. Aku kan jadi baper, nggak biasanya dipuji ganteng gitu sama kamu."
Melihat Juna salting semakin membuat Dila gemas. Dia terlihat menggemaskan dengan ekspresinya yang malu-malu itu. "Bagus dong, itu kan emang tujuan aku." Bukannya berhenti, dia malah melanjutkan. Jarang-jarang dia membuat Juna salting, sebab seringnya dia yang dibuat salting oleh kelakuan-kelakuan random Juna.
Juna memberikan sepotong apel untuk dimakan Dila. "Jangan, Ay. Bikin salting dan baper itu tugas aku, bukan tugas kamu."
Dila mengangguk. "Terus tugas aku apa kalau itu jadi tugas kamu?"
"Tugas kamu harus selalu bahagia, Ay. Kamu nggak boleh sedih kalau lagi sama aku." Kali ini dia menyuapkan potongan apel yang baru dikupasnya ke mulutnya sendiri. Memang sejak tadi bukan hanya Dila yang mengonsumsi buah-buahan yang tersedia, tetapi dirinya juga. Bahkan mungkin lebih banyak dari yang dikonsumsi Dila.
"Mana bisa manusia selalu bahagia, Jun. Pasti tetep bakal ada sedih-sedihnya."
Juna menelan apelnya dahulu sebelum mulai berbicara. "Iya, Ay. Perasaan sedih dan bahagia emang udah pasti dialami oleh manusia. Cuma kalau sama aku, semoga kamu lebih banyak bahagianya dibanding sedihnya."
"Kamu juga gitu,"
"Hubungan itu timbal balik, Jun. Jadi gak bisa kalau cuma satu orang yang terus-terusan ngasih, sementara yang satu hanya menerima." Setelah berujar, dia menyuapkan sepotong apel yang sedari tadi di tangannya ke mulut. "Konsepnya emang harus take and give biar bisa long lasting. Makanya aku juga harus ikut berusaha, nggak cuma kamu."
"Nanti kalau cuma kamu yang usaha, terus ngerasa capek di tengah jalan gimana?"
"Aku nggak bakal capek kok."
"Nggak ada yang tahu masa depan, Jun. Jadi ada baiknya kita selalu berjaga-jaga."
Juna mengangguk. Semua yang dikatakan Dila memang benar, dan dia juga menyadarinya. "Oke-oke, setuju."
"Udah," Dila menolak ketika Juna kembali menyodorkan sepotong apel. Perutnya sudah terasa kenyang, dan dia tidak ingin makan lagi. Membuat Juna akhirnya menyuapkan potongan itu ke mulutnya sendiri.
"Kamu mau nggak kalau setelah menikah hidup sederhana?" dengan random nya, Juna tiba-tiba berujar.
"Kenapa tiba-tiba?"
Juna mengedikkan bahu. "Penasaran aja."
Dila mengangguk. "Nggak apa-apa. Kan selama ini aku juga hidup sederhana sama Gavin."
"Kalau suami kamu masih sekolah, tapi udah punya pekerjaan yang cukup buat ngehidupin kamu dengan sederhana kamu keberatan nggak?"
Dila semakin bingung dengan pertanyaan random yang diajukan Juna. Dia tahu bahwa pacarnya memang suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh, tetapi biasanya tidak sampai seperti ini. "Nggak. Kan aku juga kerja, jadi bisa bantu-bantu kebutuhan juga."
Juna mengangguk, sedikit mengembangkan senyumnya meski tidak terlihat. "Aku udah punya kerjaan, Dil. Tapi baru jadi barista aja, soalnya cuma itu yang jam kerjanya fleksibel dan nggak ganggu jam kuliahku."
"Gajinya emang nggak besar, tapi cukup kalau buat hidup berdua. Apalagi aku juga masih punya tabungan, juga bisnis clothing kecil-kecilan sama anak-anak. Kalau buat tempat tinggal, aku juga udah punya sendiri."
Dila mengernyitkan dahi mendengar cerita Juna. "Kamu lagi kekurangan uang?" dari ceritanya, Dila menyimpulkan bahwa Juna sedang kekurangan uang. Meski dia tahu jika Juna anak orang kaya, tetap tidak mustahil jika dia kekurangan uang. "Mau pakai uang aku nggak?"
Juna terlihat kaget dengan ucapan Dila. Dia tidak menyangka jika niatnya justru ditangkap berbeda oleh perempuan itu. "Bukan kaya gitu Ay, maksudnya."
"Lah, bukannya kamu lagi ngasih tau kalau kamu kekurangan uang? sampai harus kerja?"
Juna menggeleng. Merasa gemas dengan pemikiran Dila yang di luar bayangannya. "Bukan begitu, Ay."
"Terus?"
"Itu aku lagi ngode ke kamu."
"Ngode?" tanyanya bingung. "Ngode buat apa?"
"Mau ngajak nikah kamu."
"Ngajak nikah?" Juna mengangguk yakin.
"Kapan?"
Mendengar pertanyaan Dila, Juna menjadi antusias. "Kamu mau?" tanyanya bersemangat.
"Ya tergantung kapan dulu waktunya, kalau bukan weekend aku gak bisa. Kan harus kerja."
"Ay ... serius."
Dila mengangguk. "Itu juga serius."
"Aku beneran mau ngajakin nikah, bukan bercanda."
Dia tersenyum. "Aku juga serius, Jun. Katanya tadi penghasilan kamu belum besar kan? berarti kan aku harus tetep kerja buat ngebantu?"
Juna mengedipkan mata. "Ini kamu bercanda atau serius, Ay?"
"Kamu maunya gimana?"
"Serius,"
"Ya udah, berarti serius."
"Kamu mau diajakin nikah?"
"Kenapa harus nggak mau?"
Juna diam. "Iya, kenapa harus nggak mau? aku cakep, anak orang kaya, mandiri, udah punya kerjaan, dan sayang banget sama kamu."
"Apalagi aku masih muda, masih kuat kalau harus begituan sepanjang hari." Lanjutnya sembari menaik turunkan alis. Membuat Dila tergelak, lalu akhirnya keduanya tertawa.
"Gimana kalau hari minggu aja?"
-- Tamat --
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong
Random"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yang kini sedang berdiri bersandar di samping kulkas dan menatap ke arahnya. Tak menanggapi dengan perk...