Bagian 40

852 50 0
                                    


Sudah lebih dari setengah jam Dila menunggu kedatangan Juna. Mereka memiliki janji bertemu di sebuah kafe, tetapi sudah lewat dari jam yang dijanjikan Juna tak kunjung datang. Padahal dia sudah mengabari jika sedang di perjalanan, tetapi batang hidungnya tak kunjung kelihatan.

Dila merasa khawatir hingga mengirimkan beberapa pesan. Sebelumnya Juna belum pernah tak menepati janjinya, jadi Dila takut bahwa telah terjadi apa-apa. "Jun, sudah dimana?"

"Are you okay? kamu gak kenapa-kenapa kan?" lanjutnya menambahkan. Dila melirik jam yang melingkar manis di tangan kirinya. Sudah hampir pukul sembilan malam, sedangkan mereka memiliki janji bertemu di jam delapan. Kemana sebenarnya kamu, Jun!

"Lemme know ya kalau kamu emang lagi ada urusan yang urgent. Aku khawatir di sini." Masih dengan perasaan gelisah, lagi-lagi Dila mengirim pesan. Dia khawatir tentu saja, tetapi tak ada juga yang bisa dia lakukan.

"Aku tunggu setengah jam lagi ya? soalnya kafenya tutup jam setengah sepuluh." Dila menghela napas. Dia sudah mencoba menghubungi Juna melalui sambungan telepon, tetapi ponselnya justru tidak aktif. Dia mau bertanya pada Gavin pun enggan, sebab tak ingin memicu kesalahpahaman.

Dila tau Gavin sudah berada di rumah, dan bocah itu juga tau bahwa Dila ke luar untuk menemui Juna. Makanya dia tidak mau bertanya di mana keberadaan Juna pada Gavin karena hanya akan menunjukkan bahwa pacarnya itu belum juga datang menemuinya.

Suara bel yang berbunyi ketika ada pengunjung yang masuk selalu berhasil mengalihkan atensi Dila. Tak henti-hentinya dia berharap bahwa salah satu suara bel yang mengiring seseorang masuk membawa seseorang yang sedari tadi ditunggunya.

Merasa lelah dan jengah sendiri, pada akhirnya Dila memilih pulang. Toh lima menit lagi kafe yang dia kunjungi juga sudah tutup, jadi dia memilih beranjak dari kursi yang sedang diduduki. Namun demikian, dia memilih tak langsung kembali. Dia duduk di salah satu bangku di taman yang tak jauh dari kafe, dan berniat untuk menunggu sebentar lagi — jaga-jaga apabila Juna nantinya akan datang. "Aku pindah di taman ya, Jun. Takut ntar kamu datang tapi kafenya udah tutup."

Dila memilih membunuh kebosanan dengan bermain ponsel. Sejak kemarin dia sengaja lembur agar hari ini bisa pulang cepat untuk bertemu dengan Juna. Sebisa mungkin, dia bertekad agar di sela-sela kesibukannya bekerja dia tetap bisa menyempatkan waktu untuk quality time bersama Juna.

Memang jika dilihat sekilas, hubungan dia dan Juna seperti he feel first and he feel harder. Dila seolah tidak terlalu menunjukkan perasaannya pada Juna, meski nyatanya dia juga berusaha keras dengan hubungan mereka. Dia selalu berusaha memaklumi hal-hal kecil yang sering dilupakan Juna. Bahkan sebagai orang yang lebih dewasa, sebisa mungkin dia berusaha untuk memakluminya. Juna yang kadang terlihat clingy di berbagai situasi, juga dia yang sering memaksakan keinginan tanpa peduli dengan kesibukan Dila di tempat kerja. Dila enggan bersikap egois. Jadi jika bisa, dia biasanya memilih untuk mengalah.

Langkahnya pelan, dengan kepala yang menunduk. Pada akhirnya dia menyerah, sebab yang ditunggu tak kunjung datang. Otaknya masih cukup waras untuk diajak berpikir. Jadi dia tak akan menunggu lebih malam lagi karena itu akan cukup berbahaya baginya. Bagaimanapun dia adalah seorang perempuan, jadi lebih baik baginya untuk selalu berhati-hati.

Suara dering telepon menyadarkannya ke dunia nyata. Sosok yang sedari tadi ditunggunya akhirnya menghubungi, dan semoga bukan kabar buruk yang akan diterima oleh Dila. "Ay, maaaffffff." Ujarnya dari ujung telepon. "Kamu udah pulang kan?"

"Maaf banget tadi hp ku mati, dan lupa buat bawa charger." Lanjutnya menjelaskan — kenapa dia tidak memberi kabar atau tidak bisa dihubungi. Dari telinga Dila, dia bisa menangkap kegelisahan dari nada suara Juna.

"Iya,"

"Udah pulang kan?"

"Iya, udah pulang." Bohong jika Dila berkata dia tidak kesal. Berjam-jam dia menunggu tanpa kepastian, dan kemudian mendapati alasan yang menurutnya kurang masuk akal. Memangnya dia tidak bisa pinjam charger temannya kah?

"Maafin aku, Ay."

"Aku gak bermaksud buat ngebatalin janji,"

Lagi-lagi Dila hanya berdehem. Dia sendiri bingung harus bagaimana, sebab tak ingin menunjukkan rasa kesal dan membuat Juna semakin merasa bersalah.

"Kamu kemana?" memilih mengabaikan permintaan maaf Juna, Dila justru melemparkan pertanyaan. Mempertanyakan kemana perginya Juna hingga tidak ada kabar selama berjam-jam lamanya.

"Aku ada kerkom, Ay. Tadinya gak mau dikerjain hari ini, tapi tiba-tiba pada mau ngerjain langsung setelah kelas."

Dila menghela napas. Mau marah tetapi rasanya tidak baik, tetapi tidak marah pun rasanya dia membohongi diri sendiri. "Sampai selarut ini?" dia melirik stand watch yang menunjukkan pukul sebelas malam. Apakah kerja kelompok sampai semalam ini?

"Sampai jam setengah sepuluhan, Ay."

"Abis itu gak langsung pulang?" jika Juna selesai kerja kelompok pukul setengah sepuluh, harusnya dia masih bisa menemui Dila. Dia menunggu Juna hingga pukul setengah sebelas, tetapi tak ada kabar apa pun yang dia terima. "Kamu nongkrong dulu?"

"Nggak, Ay."

"Terus?" tanyanya. Bukan bermaksud over protective, tetapi Dila butuh kejelasan. Dia tak mau membawa penyakit overthinking setelah mereka selesai mengobrol, jadi dia memilih untuk mengatakan apa yang dia pikirkan.

"Aku nganterin temen aku dulu. Soalnya udah malem."

"Cewek?"

"Iya," jawabnya dengan suara yang lemah. "Sumpah gak ada maksud apa-apa, Ay. Cuma kasihan karena udah malem aja."

Dila meraup udara sebanyak-banyaknya. Entah kenapa mendengarkan penuturan Juna itu hatinya merasa sesak. Dia langsung teringat akan dirinya yang pulang malam sendirian, sementara pacar yang harusnya mengantarkannya justru sedang mengantar perempuan lain. "Iya, Jun. Aku percaya."

"Cuma lain kali," Dila menjeda kalimatnya. "Tolong jangan abai sama yang namanya skala prioritas ya." Mati-matian dia menahan tangis.

"Sebagai perempuan, aku gak bakal ngelarang kamu buat nganterin temen kamu. Even dia cewek sekalipun."

"Aku juga setuju sama kamu, kalau bahaya bagi perempuan pulang malam sendirian."

"Tapi kalau sekiranya di waktu bersamaan kamu punya janji sama aku, tolong tepati dulu ya."

"Gak cuma kamu aja kan yang bisa nganterin dia? kerja kelompok gak cuma berdua, kan?" suaranya sudah mulai parau. Bagaimana pun dia berusaha menahan tangisnya, semakin lama dadanya justru semakin sesak.

"Tapi kalau kamu ngerasa aku perempuan yang kuat, aku berterima kasih sekali."

"Cuma untuk ke depan, setidaknya tolong aku kabari ya. Biar aku gak perlu nunggu kamu selama berjam-jam kaya orang bego." Lanjutnya sebelum akhirnya menutup telepon. Memutuskan panggilannya secara sepihak karena sudah tak mampu untuk menahan isakannya.

My Sweet BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang