Halo semua, bagaimana perasaan kalian hari ini?
Sudah lebih dari lima menit tidak ada yang bersuara di antara Dila dan Juna. Setelah pembicaraan cukup berat yang terpaksa berakhir karena keadaan, karena ada jadwal visit dokter, suasana di kamar tersebut kembali seperti semula. Dipenuhi dengan keheningan dan kecanggungan. Dila masih enggan untuk memulai pembicaraan, serta Juna yang masih memikirkan bagaimana untuk membujuk kekasihnya. Dia sadar betul akan kesalahannya, dan sedang memikirkan cara bagaimana untuk mendapatkan maaf dengan cepat.
Suara dering telepon yang ada di saku Juna terdengar. Dia memang sengaja menyeting ponselnya dengan nada dering, sebab takut ada panggilan penting dan dia tidak menyadarinya. "Halo, Min." Sapanya setelah mengangkat panggilan. Membuat Dila diam-diam melirik, sebab menyadari bahwa orang yang sedang menghubungi temannya adalah alasan dia dan Juna ribut.
"Hari ini anak-anak ngajakin kerkom lagi. Gimana?" tanyanya dari balik telepon. Terdengar sangat antusias dari nada suaranya.
"Sori, gue gak bisa kalau hari ini. Gue lagi nungguin cewek gue di rumah sakit." Dengan sengaja, Juna menyebutkan bahwa dia sedang sibuk menunggui kekasihnya. Dia sadar kalau diam-diam Dila ikut mendengarkan, jadi dia menggunakan kesempatan itu dengan baik.
"Cewek lo?"
"Iya," sepertinya kebaikan Juna sedikit disalahpahami oleh Jasmine. Sebagai seorang yang dulu cukup berpengalaman soal wanita, dia sadar kalau Jasmine baper dengannya. Apalagi dia akui, beberapa waktu belakangan dia memang cukup perhatian dengan perempuan itu. Tentu bukan karena menyukainya, hanya kebetulan karena dia satu-satunya perempuan di kelompoknya sehingga dia merasa perlu untuk lebih memperhatikan perempuan itu.
"Kalau kalian mau kerkom hari ini, gue gak papa kok. Nanti bagian gue dipisahin aja ya, ntar gue kerjain dari sini." Juna sudah sadar dan tidak akan mengulang kesalahan. Dia tidak akan memberikan celah pada perempuan lain untuk masuk ke hubungannya dengan Dila. Dia benar-benar mencintai kakak perempuan Gavin itu, dan dia tidak akan melakukan hal yang nantinya justru akan sangat dia sesali sendiri.
"Oke, makasih ya." Jawabnya, sebelum akhirnya mengakhiri panggilannya. Dia harus menunjukkan pada perempuan itu kalau dia sudah punya pacar, dan tidak menerima perempuan lain yang ingin mendekat.
"Kalau mau kerja kelompok, gak papa pergi aja." Dila akhirnya berbicara. Sejujurnya dia senang karena Juna memilih untuk menemaninya. Namun sebagai perempuan dewasa, dia tidak boleh egois. Dia tidak boleh menghambat pendidikan Juna hanya karena dia butuh teman di rumah sakit. "Aku nggak papa kok."
Juna menggeleng, lalu melangkah mendekat ke arah Dila. "Aku bisa ngerjain dari sini kok, santai aja. Tugasnya cuma tinggal bikin PPT ."
"Biarin aku di sini ya?" pintanya sembari menatap lurus ke arah dua mata Dila. "Boleh ya? janji nggak bakal gangguin kamu."
Dila menghela nafasnya, tetapi kemudian mengangguk. Kalau tugasnya hanya tinggal membuat power point saja, maka dia akan membiarkan Juna untuk tinggal di sana. "Hmmm."
Juna tersenyum. "Aku bisa, Ay." Tiba-tiba Juna berbicara dan membuat Dila mengernyitkan dahi.
"Aku bisa ngikutin permintaan kamu," lanjutnya. Mencoba menjelaskan bahwa dia sedang menjawab pertanyaan Dila sebelum dokter datang ke ruangan. "Aku akan selalu ngabarin kamu,"
"Aku bakalan set boundaries sama cewek lain, dan aku juga nggak bakal nolongin mereka tanpa persetujuan kamu."
"Jun," panggil Dila lemah. "Coba kamu duduk, aku mau ngobrol."
Meski bingung, Juna menuruti apa kata Dila. Dia mengambil kursi yang memang ada disampingnya berdiri, lalu mendudukinya. "Aku bukannya mau ngebatasin pertemanan kamu. Aku juga buka bermaksud ngelarang kamu bantu orang lain, apalagi cewek."
"Aku cuma mau kamu komunikasi saja, biar nggak ada salah paham. Aku juga pengen kamu tau prioritas, mana yang seharusnya didahulukan." Lanjutnya mencoba menjelaskan.
"Ngebantu orang itu perbuatan yang baik, entah yang dibantu itu cewek atau cowok. Tapi yang mesti kamu inget, bukan kewajiban kita untuk menolong semua orang yang sedang kesusahan. Menolong orang itu boleh, sangat boleh malah. Tapi jangan sampai malah ngerugiin diri kamu sendiri."
Juna masih mendengarkan Dila dengan baik. Tidak berniat untuk menyela perkataan pacarnya itu. "Kamu gak perlu jadi lilin, yang rela membakar dirinya sendiri cuma buat menerangi orang lain."
Juna mengangguk, persis seperti anak kecil yang baru diberi nasehat oleh orang tuanya. "Iya, Ay. Aku paham."
"Janji nggak bakal lagi kaya gitu. Apalagi sampai mengingkari janji sama kamu."
Dila tersenyum. Sudah merasa cukup untuk menuruti rasa kesalnya, dan berniat untuk berbaikan dengan Juna. Apalagi dia sudah melihat wajah menyesal pada Juna, dan bahkan sudah mendapatkan janji lisan dari laki-laki itu. "Boleh peluk nggak?" tanyanya random.
"Hah?" Juna terlihat kaget dengan perubahan topik yang terlalu jauh ini. Ekspresinya bahkan sangat lucu hingga membuat Dila tersenyum lebar.
"Kamu lucu banget sih,"
"Boleh."
"Sini aku peluk,"
Kini Dila yang terdiam. Dia tadi hanya melemparkan pertanyaan sembarangan untuk mencairkan suasana. Kenapa malah ditanggapi serius?
"Aku cuma bercanda,"
"Tapi aku serius."
"Sini aku peluk," lanjutnya. "Apa mau sekalian dicium?"
"Mau di pipi atau di bibir?" Juna menunjuk bibirnya. Membuat Dila salah tingkah hingga pipinya memerah.
Dasar berondong sialan!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong
Random"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yang kini sedang berdiri bersandar di samping kulkas dan menatap ke arahnya. Tak menanggapi dengan perk...