"Mbak!" Gavin memundurkan kursi dan berdiri. Berniat untuk menyusul Dila yang sudah berlari ke luar kafe. Belum juga melangkah, tangannya dicekal seseorang.
"Jangan dikejar," ujar Juna sembari menggeleng. "Biar gue aja yang nyusul." Lanjutnya.
Saat ini, suasana hati Dila pasti sedang buruk. Dia merasa kecewa dengan kelakuan adiknya dan butuh waktu untuk menenangkan diri. Makanya Juna mencegah Gavin untuk menyusul, dan mengatakan bahwa dirinya lah yang akan pergi.
"Udah lo tenangin diri dulu."
"Mbak Dila pasti baik-baik aja." Juna menepuk pelan bahu Gavin sebelum melangkah ke luar. Meninggalkan Gavin dalam kekhawatiran, serta Bagas dan Vino yang masih bingung untuk berkata apa.
"Gue merasa gagal, Jun." Setelah minum air yang dibawakan Juna, Dila mulai berbicara. "Selama ini gue kayaknya belum bisa jadi kakak yang baik buat dia."
"Karena gak pernah cerita apa-apa, gue kira Gavin baik-baik aja." Dila menunduk. Tak berniat untuk melihat lawan bicaranya.
"Tapi ternyata dia emang gak mau cerita. Dan lebih pilih lari ke rokok buat menghilangkan masalah dalam pikirannya.
Juna paham betul bahwa Dila sangat menyayangi Gavin. Bertahun-tahun hanya hidup berdua pasti membuatnya tak hanya mengambil tanggung jawab sebagai kakak Gavin, tetapi juga sebagai orang tuanya. Dan tentu saja, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya terjerumus ke hal-hal yang tidak baik.
"Dulu, papa gue sakit gara-gara rokok." Ingatan Dila kembali melayang ke masa lalu. Ingatan dimana sang ayah mulai batuk-batuk karena terbiasa menghisap nikotin. "Sebelum beliau meninggal, gue udah janji sama diri sendiri buat jauhin adek gue dari rokok."
"Gue tau gue gak boleh egois. Makanya gue cuma minta, setidaknya dia gak nyentuh barang itu sampai lulus SMA."
"Sejak kapan dia mulai rokok?" tiba-tiba Dila menoleh ke arah Juna. Membuat yang ditanya gelagapan karena bak mendapat buah simalakama. Menjawab jujur tetapi tidak ingin memperkeruh masalah, tetapi menjawab bohong juga takut merasa bersalah.
"Udah lama ya?" tanya Dila lemah. Dia mulai merasa bersalah karena tidak begitu memerhatikan adiknya. Selama ini, asal Gavin terlihat sehat maka dia kira semua baik-baik saja. Padahal harusnya dia sedikit peka, dengan Gavin yang menjadi ketua OSIS di sekolahnya mungkin akan membuatnya terlibat dengan banyak persoalan.
"Sejak setahun belakangan, tepatnya pas akhir-akhir masa jabatannya di OSIS." Setelah menimbang baik buruknya, Juna memilih jujur.
"Gue minta maaf, Mbak."
Permintaan maaf Juna membuat Dila keheranan. "Kenapa?"
"Gue yang pertama kali kasih dia rokok." Diantara mereka berempat, bisa dibilang Gavin adalah yang paling baik. Saat Juna, Bagas, dan juga Vino sudah mulai merokok dia tak pernah mau ikut. Dia hanya selalu ikut nongkrong, tetapi tak pernah mau ketika ditawari. Hingga pada suatu hari, saat sedang ada masalah dengan satu acara yang diselenggarakan oleh OSIS, Vino menawarkan Gavin untuk mencoba merokok. Memang waktu itu bukan Juna yang menawarkan. Namun dia juga tidak mencegah, dan justru malah memberikan rokoknya untuk dicoba.
Dila menatap Juna dengan tatapan kecewanya. Sama seperti saat menatap Gavin, sisi hati Juna langsung merasa tersentil. "Kenapa?" Jika tadi dia bisa langsung memarahi Gavin, Dila tak bisa bersikap sama kepada Juna. Gavin adalah adiknya, tanggung jawabnya. Sedangkan Juna adalah orang lain, jadi dia tidak bisa menyamakan apa yang dilakukannya. Meski dia juga tidak menyukainya.
"Waktu itu OSIS lagi ada acara. Gue lupa apa tepatnya." Juna mulai berbicara. Menceritakan kejadian yang membuat Gavin akhirnya mulai merokok. "Yang gue inget, ada beberapa masalah yang muncul. Mulai dari dana buat acara yang hilang, kesalahpahaman sama pihak sekolah, juga beberapa masalah internal di dalam organisasi sendiri."
"Kaya biasa, setelah sekolah kita nongkrong bareng. Gavin keliatan kacau banget karena dia merasa paling bertanggung jawab sama masalah yang terjadi."
"Waktu itu, gue, Bagas, sama Vino lagi ngerokok. Dan kaya yang lo duga, Vino coba nawarin dia buat ikut. Dia bilang kalau ngerokok bisa bikin dia sedikit tenang, dan mungkin juga bisa kasih solusi."
Dila mencoba tenang. Meski emosinya sudah terpancing, dia tetap menahan diri. "Gavin yang biasanya nolak, gak tau kenapa, tiba-tiba nerima. Dia ambil sebatang rokok yang gue sodorkan," Juna tak sanggup untuk melanjutkan cerita. Tiba-tiba perasaan bersalahnya semakin besar, sebab tau ada alasan kuat kenapa Dila melarang Gavin untuk merokok.
Dila menghela napas lelah. "Gue yang salah, Jun."
"Bisa-bisanya sebagai kakaknya, gue ga bisa jadi sandaran buat dia. Gue bahkan gak pernah tau kalau dia punya masalah." Kini Dila menyalahkan dirinya sendiri. Sebagai perempuan yang sudah dewasa, harusnya dia lebih aware terhadap kondisi adiknya.
Dari cerita yang diberikan oleh Juna, dia menyadari bahwa dia ikut andil dalam keputusan Gavin untuk merokok. "Gue belum bisa jadi kakak yang baik buat dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong
Random"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yang kini sedang berdiri bersandar di samping kulkas dan menatap ke arahnya. Tak menanggapi dengan perk...